MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Rabu, 28 April 2010

Manusia Sebagai Sumber Kekerasan & Konflik (1): Identitas Diri

created by MinorityIdeas


Proses pembentukan identitas menurut Paul Ricoeur, tidak lepas dari penilaian seseorang/orang lain yang menilai atau memberikan persepsi pada diri kita. Sehingga bisa dikatakan bahwa identitas yang ada pada diri kita ini merupakan bentukan dari orang lain.
Bagaimanapun identitas merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh manusia. Baik langsung maupun tidak langsung, identitas akan melekat didalam tubuh manusia dan identitas itu dibutuhkan untuk mendukung eksistensi manusia. Mengapa begitu? Dalam proses perjalanan hidup manusia, manusia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap segala sesuatu, termasuk terhadap dirinya sendiri. Manusia akan selalu bertanya, siapakah aku ini? Untuk apa aku di dunia ini? Bagaimana aku hidup didunia ini? Mengapa aku ada didunia ini? Dan sebagainya. Sehingga dari pertanyaan dan kegalauannya itu akan tumbuh suatu proses untuk mengenali dirinya sendiri dengan melakukan observasi melihat lingkungan sekitar, melihat orang-orang terdekat, dan manusia akan tahu setidaknya saat itu akan tahu siapa dia, untuk apa dia di dunia dan sebagainya. Proses ini akan terus berlanjut sepanjang hidup manusia. Maka, proses pembentukan identitas ini akan dimulai sedikit demi sedikit dari dalam diri manusia itu sendiri agar mereka tahu apa dan siapa diri mereka ini. Oleh karena itu, konsep identitas ini akan terbentuk dari apa yang disebut konsep diri.
Konsep diri, oleh Stuart (terjemahan Egi, Ramona, 2002 : 186), didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan memengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat dan dengan realitas dunia.
Dalam perjalanannya, konsep diri akan terus berkembang dan membentuk identitas kita sebagai manusia. Jadi, identitas akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya konsep diri, dan akan mengalami penambahan maupun pengurangan tergantung manusia itu sendiri yang mau menerima atau tidak menerima. Manusia juga tidak bisa menolak bahwa pembentukan identitas pada dirinya tidak hanya bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, tetapi ada peran lingkungan dan orang lain. Orang lain atau lingkungan sekitar terkadang akan memberikan nilai-nilai ataupun label pada diri kita sebagai manusia, dan kita bisa menerimanya ataupun tidak menerimanya. Namun, terkadang ada juga yang kita tidak mampu untuk menolaknya meskipun penilaian atau pelabelan itu buruk untuk diri kita sendiri, sehingga terbentuklah suatu identitas yang buruk dalam diri kita ataupun meluas menjadi sebuah identitas buruk bagi orang-orang yang memiliki identitas yang sama dengan kita, atau adanya generalisasi identitas karena satu dengan yang lainnya memiliki ciri identitas fisik atau ciri lainnya yang sama. Sebagai contoh, wanita diberikan identitas yang diskriminatif oleh laki-laki sebagai mahluk yang lemah, yang mana hanya mampu bekerja dirumah dan mengurus anak. Implikasi dari pelabelan/labelling dan penilaian ini memberikan dampak yang buruk pada identitas wanita selama beratus tahun lamanya bahkan hingga kini. Zaman dahulu, bayi wanita terkadang dibunuh ketika lahir, dan sebaliknya jika yang lahir bayi laki-laki maka akan diagung-agungkan. Dalam sebagian besar etnis dan suku yang ada didunia ini, mereka percaya bahwa jika ada yang mesti dijadikan tumbal untuk upacara adat, maka wanita lebih pantas untuk itu. Dalam konsep warisan, wanita juga terkadang hanya sedikit mendapat jatah warisan dibanding laki-laki. Dalam kehidupan modern saat ini, wanita masih diperlakukan diskriminatif disegala lini dan sektor baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Padahal baik wanita maupun laki-laki memiliki potensi yang sama dalam dirinya, tetapi karena “identitas”, wanita diperlakukan tidak adil.
Dari penjelasan diatas, maka Identitas tak jarang menjadi sumber terjadinya konflik kekerasan, yaitu karena adanya perbedaan identitas antara kita dengan yang lain, sehingga menimbulkan apa yang disebut sikap diskriminatif atau prasangka negatif dan pada akhirnya sikap-sikap itu mampu menggiring pada kekerasan baik fisik maupun non fisik. Untuk kasus perlakuan terhadap wanita, tak jarang laki-laki memperlakukan mereka dengan sikap kasar dan mengarah pada kekerasan, baik fisik, non fisik, maupun struktural. Sehingga inilah yang menggiring pada adanya konflik.
Untuk kasus lainnya lagi, identitas terkadang menjadi sebuah kebanggaan bagi setiap individu manusia. Identitas yang menjadi kebanggan ini tentunya merupakan sebuah identias yang terbentuk dengan suatu pelabelan dan pemberian konsep diri yang baik pula sehingga diterima dengan baik oleh manusia dan menjadi sebuah kebanggan serta selalu dicintai. Sehingga identitas tak lepas dari apa yang disebut sebagai konsep cinta.
Menurut Ibn Khaldun, manusia secara fitrah telah dianugerahi rasa cinta terhadap garis keturunan, golongan dan kelompoknya, yang artinya cinta terhadap identitas yang terbentuk dalam golongan atau keturunan tersebut. Rasa cinta ini menimbulkan perasaan senasib dan sepenanggungan serta harga diri dan kebanggaan kelompok, kesetiaan, kerjasama, dan saling membantu dalam menghadapi musibah atau ancaman yang pada akhirnya akan membentuk kesatuan dan persatuan kelompok.
Cinta sebagai sebuah konsep masuk dalam perbincangan filsafat melalui agama, khususnya ketika asal mula dunia dilukiskan sebagai suatu tindakan penciptaan dan pencipta yang diakui sebagai yang memcintai ciptaanNya, baik secara keseluruhan atau sebagian. Cinta sebagai salah satu dorongan manusia yang paling kuat, awalnya lebih dilihat sebagai kebutuhan akan kontrol, teristimewa ketika manusia sebagai rasional animale mampu menggunakan kemampuan rasionalnya. Cinta juga dipercaya mempunyai kekuatan untuk menyatukan manusia dalam suatu ikatan yang umum.
Ketika manusia hidup bersama-sama dalam suatu kelompok yang memiliki ikatan yang kuat yang didasari cinta terhadap (identitas) kelompok tersebut, maka manusia tersebut tidak akan rela jika salah satu anggota atau sebagian besar anggota kelompoknya terhina oleh kelompok lain yang berbeda identitas dengan mereka. Sehingga dengan segala daya dan upaya mereka akan membelanya dan mengembalikan kehormatan mereka.
Sebagai sebuah fitrah, maka rasa cinta terhadap (identitas) kelompok ini terdapat pula pada semua bentuk masyarakat, baik dalam bentuknya yang primitif maupun dalam perkembangannya yang modern. Perbedaannya hanya pada faktor pengikatnya. Dalam masyarakat primitif, faktor pengikatnya adalah ikatan darah atau garis keturunan. Sedangkan dalam masyarakat modern yang ikatan darahnya sudah tidak murni lagi satu suku, maka ikatannya didasarkan atas kepentingan-kepentingan anggota kelompok maupun yang secara imaginer menjadi kepentingan kelompok.
Konflik antar agama yang terjadi di Ambon, Poso, dan ditempat-tempat lainnya, merupakan salah satu contoh konflik kekerasan yang bermula dari adanya rasa yang tidak menerima akan adanya penghinaan ataupun pelecehan terhadap salah satu anggota kelompoknya (dalam hal ini antara kelompok agama islam-kristen). Agama sebagai sebuah identitas yang menyatukan anggota-anggota kelompok orang-orang yang beragama islam dan kristen akhirnya tidak menerima dan terjadilah konflik kekerasan yang menelan ratusan nyawa melayang.
Maka, “identitas” yang ada didalam diri manusia dapat dikatakan sebagai sumber terjadinya konflik baik fisik maupun non fisik. Lalu apakah “identitas” ini mesti dihilangkan agar konflik dapat dimusnahkan? sementara manusia juga membutuhkan “identitas”.

0 komentar: