MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Jumat, 16 April 2010

Tragedi Mbah Priok

created by MinorityIdeas


Kita kembali menyaksikan konflik kekerasan yang melanda negeri ini. Tragedi Mbah Priok telah menelan korban jiwa 3 orang petugas Satpol PP, 146 orang luka-luka dan beberapa kendaraan bermotor milik disekitar daerah konflik habis dibakar warga Koja, Tanjung Priok. Meskipun tidak separah Tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984, yang menelan korban hingga ratusan jiwa, namun tragedi Mbah Priok tetap menelan korban jiwa, sebuah roman bangsa yang tidak beradab terjadi kembali di era yang menjunjung tinggi HAM dan hukum.

Suatu konflik kerap kali dimulai dengan masalah yang kecil dan remeh. Jika melihat berita yang dilansir media elektronik pada saat proses mediasi antara pihak pemerintah DKI Jakarta dengan warga Koja serta pihak Pelindo, Wakil Gubernur DKI menjelaskan bahwa sebenarnya pemprov bukan ingin menggusur makam Mbah Priok, tetapi menata jalan disekitar makam mbah priok yang berdekatan dengan pelabuhan tanjung priok agar pelabuhan tanjung priok memenuhi standar internasional. Hal ini juga dikeluhkan pihak Pelindo sebagai pihak yang akan melakukan penataan pelabuhan, dimana kapal-kapal angkutan barang dari China dan negara-negara lain di Asia yang akan menuju ke Amerika tidak mau bersandar dipelabuhan Tanjung Priok karena tidak memenuhi standar internasional, dan ini jelas mempengaruhi kegiatan ekonomi di Indonesia, khususnya didaerah Tanjung Priok.

Selain itu, makam Mbah Priok yang dibela warga setempat menurut Wakil Gubernur DKI sebenarnya sudah dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum lainnya. Jadi, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di daerah Tanjung Priok itu. Hanya saja sebagian masyarakat masih percaya bahwa jasad Mbah Priok masih ada disitu. Pemprov DKI sendiri tidak akan menggusur makam tersebut, karena makam Mbah Priok telah diakui sebagai salah satu situs cagar budaya dan sejarah Jakarta.

Sejatinya, Tragedi Mbah Priok ini tidak seharusnya terjadi jika diantara pemerintah dan pihak warga Koja melakukan komunikasi dengan baik berkaitan rencana penataan Cagar Budaya Makam Mbah Priok. Namun, nasi telah menjadi bubur. Korban telah berjatuhan. Baik dari pihak Satpol PP maupun warga setempat kedua-duanya salah. Tidak seharusnya kedua belah pihak yang bertikai melakukan tindakan kekerasan. Satpol PP sebagai aparatur pemerintah harusnya lebih melindungi masyarakat dan menegakkan peraturan daerah dengan cara yang nir-kekerasan, begitupun juga warga setempat yang mayoritas bergama islam dan sering mengadakan pengajian di Makam Mbah Priok seharusnya tidak bertindak anarkis dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama islam.

Namun, dibalik terjadinya tragedi Mbah Priok ini, apa sebenarnya yang menyebabkan konflik ini menjadi sebuah tragedi yang menelan korban jiwa yang cukup banyak dan amarah warga sangat memuncak? Padahal daerah Koja ini sebelumnya merupakan daerah yang harmonis dan tentram, tetapi kini menjadi daerah mencekam dan masih diliputi emosi serta perasaan tidak aman.

Mengapa konflik Mbah Priok bisa meledak?
Menurut George Simmel (1991), seorang ahli sosiologi, memandang bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan di dalam suatu masyarakat. Simmel mengajukan suatu proposisi tentang intensitas konflik bahwa suatu konflik kekerasan akan muncul dan semakin membesar jika solidaritas diantara anggota kelompok yang terlibat itu kuat, dan semakin besar keharmonisan yang ada sebelumnya diantara anggota yang terlibat konflik, semakin besar pula tingkat keterlibatan emosinya. Selain itu, semakin suatu konflik dirasakan oleh para anggota yang terlibat konflik sebagai sesuatu yang memperjuangkan kepentingan mereka, semakin cenderung konflik akan semakin keras.

Jika melihat masyarakat Koja diderah sekitar Makam Mbah Priok, maka solidaritas mereka sangatlah kuat. Masyarakat ini sering melakukan pengajian dan ziarah yang diadakan di makam Mba Priok yang dikeramatkan. Ikatan solidaritas ini secara tidak langsung telah diperkuat oleh simbol makam Mbah Priok. Satu hal lagi bahwa komunitas yang muncul dari hasil pengajian di makam mbah priok ini cenderung bersifat militan. Sehingga ketika berhembus isu yang belum tentu benar adanya, mengenai penggusuran makam Mbah Priok, yang notabene merupakan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat, maka rasa solidaritas itu muncul dan menguat untuk membela simbol yang diagungkan dan dikeramatkan itu. Ditambah juga sikap militan warga setempat.

Namun, bagaimanapun ini juga tak lepas dari persepsi warga terhadap Satpol PP. Persepsi ini juga sangat mempengaruhi sikap warga dalam proses terjadinya konflik ini. Satpol PP yang umum dipersepsikan dengan petugas yang tanpa ampun dan selalu menggunakan kekerasan dalam setiap aksinya menggusur pedagang kaki lima, rumah dan tanah sengketa, dan sebagainya, yang imej ini memberikan persepsi negatif warga dalam memandang Satpol PP. Ditambah lagi Satpol PP yang diperlengkapi dengan alat-alat dan instrumen kekerasan seperti pentungan, membuat warga melihat Satpol PP ini merupakan musuh mereka yang akan mengganggu keharmonisan daerah Koja yang sebelumnya dalam keadaan aman dan tentram.

Mungkin kita akan bertanya, mengapa para tokoh dan pemuka masyarakat dan agama saat itu tidak memberikan suatu arahan dan nasehat kepada warga setempat untuk tidak melakukan kekerasan saat itu. Bagaimanapun, arahan dan masukan itu sebenarnya akan kurang efektif karena masyarakat sudah tidak dalam kondisi emosi yang tidak normal. Keterlibatan emosional ini dipengaruhi oleh adanya tingkat solidaritas dan harmonitas yang tinggi antara para anggota kelompok masing-masing. Dengan demikian dapat diduga bahwa kebrutalan yang terjadi dalam peristiwa konflik Mbah Priok dikarenakan adanya rasa sakit hati atau kecewa karena telah ada yang mengganggu harmonitas yang sebelumnya dinikmati. Oleh karena itu, maka menjadi wajar jika kekerasan atau kebrutalan justru terjadi di dalam masyarakat yang tadinya relatif damai. Selain itu, konflik akan semakin brutal jika kekerasan tersebut dipersepsi oleh para pelaku sebagai media atau alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang sangat prinsipil.

Apa yang mesti dilakukan selanjutnya?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemberi komando kepada Satpol PP dan juga warga Koja, tanjung Priok, kedua belah pihak ini sudah seharusnya melakukan pembenahan. Dari pihak pemerintah daerah sudah seharusnya dalam setiap praktek dilapangan yang dilakukan oleh Satpol PP menggunakan konsep nir kekerasan, yaitu lebih mengutamakan negosiasi dan diskusi yang merangkul semua elemen yang terlibat. Jika masih menggunakan kekerasan, maka pemerintah sekarang tidak ada jauh bedanya dengan pemerintah rezim orde baru dahulu yang represif. Kebiasaan-kebiasaan represif dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sesuatu justru cenderung akan membuat sebuah kekerasan baru yang muncul.

Pemerintah harus menghapus tindakan semena-mena terhadap masyarakat yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Dalam proses mediasi antara pemerintah, warga Koja dan Pelindo, ada bukti yang diperlihat warga dalam sebuah draft mengenai ketidakadilan pemerintah daerah yang belum memberi ganti rugi atas pengambilalihan tanah warga, yang mana sudah bertahun-tahun terbengkalai.
Dari sisi masyarakat setempat, sudah seharusnya tokoh agama dan masyarakat setempat untuk memanfaatkan media pengajian di Makam Mbah Priok untuk lebih mendakwahkan dan memberi nasehat kepada warga untuk dalam setiap sikap dan tindakan agar tidak mengutamakan kekerasan, bukan malah mengutamakan militanisme. Islam merupakan agama yang rahmatan lil'alamiin, yang banyak membawa pesan perdamaian. Sehingga ummat islam di Koja seharusnya mencerminkan islam yang damai, bukan islam yang menjunjung kekerasan.

0 komentar: