MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Jumat, 07 Mei 2010

(5) Konsep Toleransi

created by MinorityIdeas


Kata 'toleransi' mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Semenjak SD hingga kuliah, kita sudah terbiasa mendengar atau bahkan memahami apa itu Toleransi. Toleransi sebagai sebuah konsep ideal dalam berkehidupan bermasyarakat, bangsa, dan negara, sayangnya lebih terkesan sebagai sebuah konsep formalitas belaka, yang selalu dihadirkan dalam setiap kurikulum studi kewarganegaraan maupun studi Pancasila. Sehingga, kita hanya mengetahui belaka tanpa bisa memahami lebih dalam dan menginternalisasi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan nyata. Mungkin ini terlihat pesimistis, tapi kenyataan membuktikan, sudah terlalu banyak kasus-kasus baik kekerasan fisik maupun non fisik yang terjadi karena sikap intoleransi kelompok-kelompok yang berbeda etnis, agama, ideologi dan berbagai macam perbedaan lainnya. Tak jarang pula ratusan bahkan ribuan nyawa melayang, yang sebagian besar disebabkan oleh sikap tidak tolerannya berbagai kelompok yang berbeda.
Terminologi toleransi secara umum diartikan sebagai sebuah term atau istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Toleransi juga biasanya diartikan sebagai sikap, perilaku, atau perbuatan yang menerima, mengakui, dan/atau mengenal segala perbedaan yang eksis dalam berbagai kelompok yang majemuk/plural.
Dalam buku “On Toleration”, karangan Michael Walzer, dipaparkan mengenai konsep toleransi secara filosofis, bahwa Toleransi akan selalu dan penting dipergunakan ketika kita dihadapi dalam situasi atau kondisi dimana kita berhadapan dengan orang lain atau kelompok yang berbeda dari kita (Other/Stranger). Mengapa? Sudah menjadi hal yang natural bagi sebagian besar manusia bahwa setiap berhadapan atau bertemu dengan orang asing atau kelompok lain yang belum pernah dikenal sebelumnya, maka ada kecendrungan kita akan menilai mereka dengan segala pengetahuan yang sebelumnya ada di alam pikiran kita, yang didapat dari pengalaman mengenai obyek tersebut (orang asing atau kelompok lain tersebut). Pengetahuan dan informasi itu terkadang tidak selalu benar dan obyektif, sehingga kita akan selalu cenderung memberi penilaian negatif atau stereotyping kepada other/stranger tersebut. Hal inilah yang perlu dihindari, karena itu akan mempengaruhi kita dalam bersikap dan berprilaku yang bisa menggiring kearah sikap diskriminatif dan pada akhirnya bisa memicu pada aktualisasi tindak kekerasan dan munculnya konflik hingga pada skala yang besar.
Secara implisit, Walzer menjelaskan bahwa Toleransi memiliki lima level, yaitu dari level bawah – sangat tradisional- hingga yang sangat modern. Pada tahap awal, toleransi bisa dianalogikan ibarat dua kelompok mafia yang saling bertengkar dan terus berperang. Ketika mereka kelelahan karena terus menerus dalam kondisi yang tidak aman dan damai disebabkan oleh peperangan yang mereka lakukan, maka mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti berperang. Namun, disini tidak terjadi suatu dialog dan kesepakatan diantara dua belah pihak yang bertikai, mereka tetap eksis satu sama lain. Hal ini tetap dapat disebut sebagai suatu sikap yang Toleran, dalam bentuknya yang sangat tradisional. Mereka (atau kita) memandang Other tetap eksis, tapi mereka (kita) tidak mau perduli dan juga tidak mau mengakui (sebenarnya) dengan segala sikap dan ekspresi Others/stranger tersebut. Toleransi dalam bentuk seperti ini sebenarnya sangat lemah dan sewaktu-waktu dapat hilang sehingga memicu kembali terjadinya konflik.
Toleransi pada level kedua, dapat dianalogikan sebagai sikap “cuek” kita terhadap orang lain (other/stranger) ketika bertemu disuatu tempat, yang mana kita mengakui adanya orang lain tersebut tapi kita tidak memiliki hasrat untuk mau mengenalnya, atau berkomunikasi (sekedar menyapa). Kita hanya bersikap “cuek” atau tak acuh, dan ini sebenarnya pula sudah termasuk dalam sikap yang toleran dalam bentuknya yang sangat tradisional pula, yang tak jauh beda dengan toleransi pada level sebelumnya.
Pada tahap atau level yang ketiga, Toleransi berwujud dalam bentuk 'respect' kita terhadap yang lain/other. Respect disini merupakan suatu sikap atau perilaku yang mendorong kita untuk mengenal dan menghargai yang lain. Dalam hal ini, kita dituntut untuk bisa menekan rasa emosi, ketidaksenangan, atau ketidaknyamanan kita terhadap orang lain/other tersebut, yang timbul dari perbedaan antara yang lain dengan diri atau kelompok kita. Sikap respect disini bukanlah berarti kita menerima orang lain hanya karena kita “senang” dengan orang lain itu dalam bersikap dan berperilaku atau cocok seperti yang kita inginkan (atau sesuai dengan persepsi kita), tetapi respect lebih merupakan sikap penerimaan kita terhadap orang lain dengan apa adanya kekurangan dan perbedaan yang dimiliki oleh yang lain/other tersebut.
Toleransi pada tahap berikutnya juga lebih maju, atau modern, yaitu toleransi yang altruistik. Toleransi dalam level ini merupakan suatu sikap penerimaan kita terhadap other atau stranger bukan karena perbedaan yang dimiliki oleh other atau stanger tersebut, tetapi kita lebih melihat eksistensi orang lain (other) sebagai sebuah refleksi nilai-nilai luhur dan ideal dari negara, agama, kebudayaan, dan ideologi. Sehingga dari sikap ini akan lahir sebuah bentuk sikap yang saling mendukung, kerjasama, saling menghormati, dan bertenggang rasa, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat majemuk dan plural.
Selanjutnya, toleransi pada level yang terakhir ini merupakan toleransi yang lebih bersifat “multikulturalisme”, yaitu suatu sikap toleran yang bukan hanya didasari oleh sikap pengakuan kita, sikap penghormatan, dan sikap penerimaan terhadap segala perbedaan yang ada pada 'yang lain', tetapi juga adanya suatu sikap dari kita untuk mau berbaur dan menyatu serta belajar dari segala hal-hal baru yang ada pada 'yang lain, other, stranger', sehingga dari hal itu bisa menciptakan suatu 'self development' pada diri kita/kelompok kita khususnya, dan dalam komunitas yang lebih luas pada umumnya. Dari hal itu, maka akan mampu tercipta suatu kehidupan yang harmonis, tenteram dan damai.
Dalam suatu kehidupan masyarakat yang plural (seperti Indonesia), sikap toleransi sangat dibutuhkan. Sikap toleransi ini juga harus bisa didukung dengan suatu dialog yang membawa pada kesepakatan pada dua atau lebih kelompok/komunitas yang berbeda. Dalam suatu masyarakat yang tingkat kesepakatan (dialog/kesepakatan) tinggi maka toleransi akan semakin tinggi. Namun, jika tingkat kesepakatan rendah maka toleransi lebih rendah juga.
Dalam suatu kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, suatu kebersamaan dalam kehidupan yang plural merupakan hal yang pasti. Tanpa kebersamaan maka toleransi susah untuk bisa diwujudkan dan direalisasikan. Sehingga jikalau kebersamaan bisa dibina maka kehidupan yang damai bisa direngkuh dan dijaga dengan baik pula. Hanya saja kita tidak boleh melupakan bahwa toleransi juga mensyaratkan 'reciprocity' (hubungan timbal balik). Tidak mungkin hanya satu orang atau satu pihak yang melaksanakan sikap toleran sementara 'yang lain/others' tidak melakukan dan mengaktualisasikannya terhadap kita. Selain itu, sikap yang akomodatif juga dibutuhkan dalam kehidupan yang menjunjung toleransi. Jika sikap yang akomodatif tidak ada, maka yang ada justru dominasi kelompok yang mayoritas terhadap kelompok minoritas. Kelompok mayoritas dengan segala nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan harus bisa menjamin bahwa hal-hal tersebut tidak membuat kelompok minoritas merasa didiskriminasi atau termajinalkan. Apalagi ketika kelompok minoritas menuntut suatu keadilan dan ingin berdialog, namun kelompok mayoritas tidak mau menerima dan menganggap bahwa kebenaran yang dianut mereka sudah final sehingga nilai dan peraturan itu menjadi sebuah paksaan bagi yang minoritas, maka ini tidak bisa disebut sebagai sikap yang akomodatif dan toleransi dalam bentuk yang modern tidak bisa tercipta.
Sikap toleransi haruslah mampu diciptakan dan diaktualisasikan dalam segala dimensi kehidupan, yaitu dalam kehidupan berpolitik, sosial, budaya, agama, dan ekonomi. Dalam kehidupan politik sebagai contoh, setiap partai politik maupun fraksi-fraksi yang ada di parlemen, seharusnya mampu menghargai perbedaan ideologi yang dianut setiap parpol,dan setiap parpol maupun fraksi bisa bersinergi untuk bisa membangun bangsa dan negara ini, bukan saling menjatuhkan ataupun saling mencemooh. Ini justru makin memperparah kondisi negara kita dan memperlihatkan belum dewasanya para pemimpin dan elit di negara ini dalam berpolitik. Dalam kehidupan sosial budaya, kita dituntut untuk bisa menghargai, menerima, menghormati, dan bekerjasama dengan berbagai macam etnis, suku, dan kelompok yang tersebar ribuan banyaknya di indonesia ini khususnya. Konflik antar etnis seperti yang pernah terjadi antara etnis madura dan dayak, sikap diskriminatif pemilik kos di jogja terhadap mahasiswa pendatang dari papua, dan berbagai realitas lainnya, sudah seharusnya dihilangkan dengan meningkatkan toleransi dan dialog diantara kedua belah pihak. Selain itu, isu agama mungkin merupakan yang paling krusial. Konflik agama di Poso dan Ambon, dan berbagai daerah lainnya, antara islam dan kristen, juga merupakan konflik yang terjadi karena rendahnya pemahaman toleransi dan dialog antar agama. Sehingga perseteruan yang remeh dan sepele pada mulanya, antara pemeluk kedua agama, mampu disulut dengan mudah hingga menelan ribuan nyawa melayang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan memiliki kepentingan didalam konflik ini.
Sebuah kata “toleransi” sangat mudah diucapkan dan dilontarkan dari bibir ini. Bahkan juga sangat mudah untuk dipaparkan dan dijelaskan hingga menjadi sebuah tulisan dan buku seperti yang dilakukan oleh saya dan juga Walzer. Namun, untuk membuat orang lain paham, mengerti, dan mengaktualisasikan sikap toleransi ini sangatlah tidak mudah. Karena itu, Toleransi ibarat sebuah konsep yang sangat ideal dan luhur, tetapi sangat susah untuk membumi atau “down to earth”. Diperlukan suatu cara dan mekanisme yang progresif untuk memahami kepada segenap warga negara mengenai Toleransi dan bagaimana cara mengaktualisasikannya dengan benar dan efektif.

Kamis, 29 April 2010

(4) Mimesis

created by MinorityIdeas


Mimesis menurut Rene Girard merupakan hasrat meniru dari dalam diri manusia. Manusia secara alamiah memiliku hasrat meniru manusia lainnya, baik dalam bersikap dan pola berpikir. Kondisi seperti ini oleh Rene girard disebut sebagai mimesis.

Mimesis merupakan hipotesa awal dari Girard, yang menjelaskan akar dari suatu konflik. Pada fase pertama (mimesis), girard menjelaskan bahwa setiap hasrat meniru (mimesis) itu mengandung potensi konflik karena sifat dan watak mimesis itu sendiri. Sedangkan fase kedua, merupakan dampak implikasi dari adanya rivalitas mimesis dua orang yang memiliki hasrat yang sama, yang mana girard melihat mengenai implikasi dari dua orang yang berkonflik karena memiliki hasrat yang sama terhadap suatu obyek. Pada mulanya, girard meneliti mengenai dua orang yang berkonflik, tetapi selanjutnya ia memperluas penelitiannya terhadap relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Sehingga dalam proses rivalitas mimesis ini timbul apa yang disebut sebagai mekanisme kambing hitam (scapegoating).

Proses mimesis (mimetic rivalry) menjadi ke sebuah scapegoating adalah karena hasrat manusia pada pokoknya tak terarahkan pada sebuah objek yang spesifik. Orang menghasratkan sesuatu, karena orang lain menghasratkan sesuatu tersebut. Ia meniru dan hasratnya diarahkan oleh orang lain yang ditirunya. Hasrat yang lahir karena mimesis atau meniru itu mau tak mau mengakibatkan konflik. Sebab pihak-pihak yang menghasratkan mengarahkan hasratnya pada objek yang sama. Teladan yang tadi ditiru kini menjadi rival. Sementara objek yang tadinya diperselisihkan sekarang kabur menghilang. Makin hasrat meningkat, makin orang memfokuskan dirinya pada rival, yang akhirnya harus dilawannya.

Rivalitas ini mau tak mau mengarah pada kekerasan. Kekerasan yang pecah menjadi satu-satunya hal yang dihasratkan. Hanya dengan kekerasan itu pihak-pihak yang berselisih merasa bisa memperjuangkan hasratnya. Terjun dalam kekerasan lalu menjadi tanda, bahwa mereka masih sanggup mempertahankan hidupnya.

Karena manusia mencenderungi tindakan kekerasan, hidup damai dalam masyarakat tidak dapat diandaikan akan terjadi dengan sendirinya. Akal sehat maupun maksud baik (social contract) tak menjadi jaminan bagi kedamaian itu. Rivalitas yang terkandung dalam diri setiap orang dengan mudah membahayakan tata masyarakat, membuyarkan norma-norma dan mengaburkan pengandaian-pengandaian kultural. Peluang bagi kedamaian tetap ada, asalkan agresi yang saling menghancurkan bisa dialihkan ke dalam kekerasan yang satu dan seragam, kekerasan dari semua melawan satu. Maka semua orang lalu mengerahkan permusuhannya dan kekerasan pada kambing hitam, yang dipilih mereka secara sewenang-wenang . Sekarang kesalahan ada pada pihak kambing hitam. Bukan pada mereka. Itulah mekanisme kambing hitam. Karena mimesis, hasrat mereka berbenturan satu sama lain, menjadi rivalitas, yang menuntun ke konflik dan melahirkan kekerasan. Karena kambinghitam, rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan masyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Lewat pengosongan kolektif terhadap hasrat mimetis yang saling menghancurkan itu, kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini disakralkan dan dianggap sebagai pembawa kedamaian. Ia sekaligus terkutuk dan pembawa keselamatan. Karena dialah lahir kekerasan sakral, yang dipraktikkan dalam ritual.

Dalam praktik korban, dialihkan kini kekerasan kolektif yang asli menjadi kekerasan pada kambing hitam. Hal itu diatur dan dikontrol dengan ketentuan dan aturan ritus yang ketat dan keras. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan keluar, dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri.

(3) Musuh/Lawan

created by MinorityIdeas


Musuh atau lawan yang ada dalam sebagian besar benak kita selama ini merupakan orang yang “jahat”, “buruk”, “negatif”, “evil”, dan berbagai macam sifat buruk lainnya yang melekat padanya. Sehingga kita otomatis menganggap diri ini kebalikan dari sifat-sifat buruk tadi. Maka, dikarenakan adanya musuh terkadang hidup kita akan selalu merasa terancam, siap siaga jika sewaktu-waktu musuh menyerang, atau bahkan kita sampai berpikir untuk memusnahkan musuh kita tersebut. Sehingga kondisi seperti ini sangat rentan memicu konflik dengan kekerasan, padahal kita semua tahu bahwa sebagian besar manusia di dunia ini pasti memiliki musuh meskipun musuhnya tersebut hanya satu orang. Lalu, apa jadinya dunia ini jika dipenuhi dengan hubungan saling memusuhi? Akankah perdamaian yang diinginkan setiap manusia itu hanyalah impian belaka?

Konsep musuh atau lawan menurut Carl Schmitt, yaitu bukanlah musuh dalam artian musuh atau lawan yang harus dimusuhi hingga menjadikannya harus mati atau eksistensinya sebagai manusia menjadi hilang karena tindakan orang yang memusuhinya. Karena musuh dalam artian seperti ini justru akan menciptakan suatu antagonisme sosial, suatu kondisi yang chaos dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, musuh dalam pengertian ini lebih kepada pengutamaan emosional dan persepsi, yang mana tingkat rasionalitas dalam mengambil keputusan sangat kurang dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang akan terjadi justru akan menciptakan suatu kondisi yang tidak stabil, penuh dengan ancaman dan kekerasan, dan pada akhirnya bisa terjadi yang disebut sebagai suatu peperangan yang akan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Maka, manusia tidak akan jauh berbeda dengan binatang atau mahluk yang tidak beradab. Menurut Schmitt, seorang lawan atau musuh hanya ada jika terjadi suatu konfrontasi secara kolektif. Konflik akhirnya menjadi chaos dan ini disebut sebagai masa krisis namun kemudian, oleh Schmitt, diharapkan ada “order” setelah dibuat suatu keputusan. Maka antinomi antara kawan dan lawan merupakan prinsip diferensiasi yang mengawali lahirnya sebuah sistem baru yang bersifat konstruktif.

Musuh sebenarnya tidak semestinya diperlakukan layaknya binatang atau menghilangkan ekistensinya dari dunia ini. Musuh atau lawan sejatinya merupakan suatu hal yang sebenarnya dibutuhan oleh manusia untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih bagus lagi.
Menurut Schmitt, dengan adanya musuh ini, meskipun kita akan melalui masa-masa krisis dalam berkonflik dengan musuh, tapi justru hal itu nantinya akan menciptakan sebuah tatanan “order” yang baru atau system yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena dalam menghadapi musuh ini maka pikiran, kreativitas, akan terkerahkan dengan optimal dan menghasilkan suatu cara atau system untuk bagaimana agar bisa menang atau menyelesaikan konflik. Konsep “musuh” oleh Carl Schmitt ini sebenarnya sangat dekat dengan konsep “Nir Kekerasan”, karena ketika kita menganggap musuh sebagai saingan atau partner dalam berkonflik, maka kita akan memikirkan banyak cara untuk menghadapinya tanpa menggunakan kekerasan sehingga menghilangan eksistensinya dari dunia ini. Pada akhirnya akan tercipta suatu perdamaian. Jadi, musuh dalam definisi ini akan selalu dibutuhkan oleh manusia, dan itu berarti “konflik” sebenarnya juga dibutuhkan oleh manusia, sehingga “konflik” tidak akan pernah bisa hilang tapi kita harus tahu bagaimana mengelola konflik tersebut kearah positif dan konstruktif. Maka, tidak salah jika tatanan dunia yang ideal akan lahir karena adanya “musuh” dan “konflik” dalam artian yang positif seperti apa yang dijelaskan oleh Carl Schmitt.

(2) Persahabatan

created by MinorityIdeas


Dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics, Aristoteles berpendapat bahwa sahabat dapat dipandang sebagai diri pribadi kedua. seperti halnya perilaku yang bajik memperbaiki diri sendiri, sahabat pun dapat saling meningkatkan – inilah pentingnya persahabatan, dan alasan ini dapat dianggap sebagai sejenis kebajikan. Keberhasilan atau kegagalan seorang sahabat dapat disamakan dengan keberhasilan atau kegagalan seseorang. Aristoteles membagi persahabatan ke dalam tiga jenis, berdasarkan motif dalam membentuknya: persahabatan berdasarkan manfaat, persahabatan karena kesenangan dan persahabatan untuk kebaikan.

Persahabatan karena manfaat adalah hubungan-hubungan yang terbentuk tanpa kepedulian terhadap orang lain sama sekali. Bila seseorang membeli suatu barang, misalnya, mungkin ia harus bertemu dengan orang lain, tetapi biasanya hanya tercipta hubungan yang sangat dangkal antara si penjual dan pembelinya. Dalam konteks modern, orang-orang dalam hubungan seperti itu mungkin malah tidak disebut sahabat, melainkan kenalan (kalaupun misalnya mereka saling mengingat yang lainnya setelah transaksi itu). Satu-satunya alasan orang-orang ini berkomunikasi adalah untuk membeli atau menjual sesuatu, dan itu bukan hal yang jelek, tetapi segera setelah motivasi itu hilang, hilang pulalah hubungan antara kedua orang ini, kecuali muncul sebuah motivasi yang lain. Keluhan dan pertikaian biasanya hanya muncul dalam persahabatan seperti ini.

Pada tingkat yang berikutnya, persahabatan untuk kesenangan didasarkan pada kesenangan semata-mata akan kehadiran orang lain. Orang yang minum bersama-sama atau yang memiliki hobi yang sama mungkin mempunyai persahabatan seperti itu. Namun demikian, sahabat-sahabat ini juga akan berpisah – apabila mereka tidak lagi menikmati kegiatan bersama, atau tidak dapat lagi ikut serta bersama-sama di dalamnya.

Persahabatan karena kebaikan adalah persahabatan di mana anggota-anggotanya menikmati watak yang lainnya. Sejauh sahabat-sahabat ini mempertahankan watak yang sama, hubungan ini akan bertahan karena motif di baliknya adalah kepedulian terhadap sang sahabat. Ini adalah tingkat hubungan yang tertinggi, dan dalam konteks sekarang hal ini dapat disebut sebagai persahabatan sejati.
Berkaitan dengan konflik, maka persahabatan yang berdasarkan manfaat dan kesenangan lebih rentan untuk terjadinya konflik. Mengapa? Pada jenis persahabatan (atau yang lebih tepatnya kenalan) yang berdasarkan manfaat, manusia yang saling berinteraksi hanya didasarkan pada motivasi atau kepentingan tertentu, tanpa memperdulikan siapa orang yang dihadapi. Setelah motivasi terlaksana dan kepentingan terpenuhi maka selesai sudahlah hubungan interaksi itu. Dalam kondisi seperti ini, setiap orang yang berinteraksi tidak perlu mengenal lebih jauh dengan siapa ia berinteraksi, asalkan kepentingannya terpenuhi maka selesailah hubungan itu. Namun, kondisi seperti ini sangatlah rentan untuk timbulnya konflik jikalau kepentingan atau motivasi itu tidak dapat terpenuhi. Karena satu sama lain tidak saling mengenal lebih jauh, maka ego masing-masing akan muncul untuk mempertahankan dirinya sehingga konflik dan pertikaian tak dapat dielakkan.
Untuk persahabatan yang berdasarkan kesenangan memang setingkat lebih maju dari yang berdasarkan manfaat. Persahabatan berdasarkan kesenangan jauh lebih intens dalam berkomunikasi antara satu orang dengan orang lainnya dalam situasi dan kondisi yang membuat mereka merasa nyaman dan bersenang-senang. Setidaknya antara satu individu dengan individu lainnya memiliki kesamaan dalam hal-hal yang mereka senangi dan itu mereka ketahui. Sehingga terjalinlah hubungan persahabatan. Namun, hubungan persahabatan yang terbentuk hanyalah karena adanya kesamaan dalam hal yang mereka sukai atau senangi, tidak lebih dari itu. Maka, ketika ada hal yang saling mereka tidak senangi dan menghambat mereka untuk mendapati hal yang mereka senangi, hubungan persahabatan itu akan hilang.

Baik persahabatan dengan berdasarkan manfaat maupun kesenangan memiliki pola yang sama dalam memicu timbulnya suatu konflik, yaitu jika kepentingan dan kesenangan yang diinginkan tidak terpenuhi, maka hubungan yang terjalin akan terputus dan mudah untuk saling bergesekan sehingga konflik dengan mudah terjadi jika ego masing-masing individu sudah terlibat. Ego merupakan suatu hal yang alamiah dalam diri manusia. Ego akan muncul jikalau frustasi sudah melanda manusia dan ini dapat menyebabkan konflik. Dalam teori konflik dijelaskan bahwa sikap frustasi akan muncul ketika orang gagal mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Dalam kondisi seperti ini, jika setiap orang sudah frustasi dan ego masing-masing lebih diutamakan maka tidak ada yang saling mengingatkan untuk menurunkan emosi dan tenang, sehingga konflik memiliki potensi besar untuk terjadi.

Berbeda halnya dengan persahabatan yang didasari dengan kebaikan, hubungan ini terjalin dan terbentuk karena adanya kepedulian satu sama lain dan berusaha mengetahui lebih dalam serta menerima apa adanya sifat dan watak sahabatnya. Dalam hubungan persahabatan ini, satu sama lain akan berusaha untuk saling mengingatkan jikalau salah seorang sahabat lengah atau khilaf dalam bertindak dan bersikap. Sehingga satu sama lain bisa saling mengontrol emosi dan menjauhkan dirinya dari kondisi yang dapat memicu konflik. Dalam hubungan ini, kepentingan atau kesenangan yang mereka dapati bukanlah menjadi sebuah tujuan utama, tetapi kepedulian dan kebaikan menjadi dasarnya. Manusia sebagai mahluk sosial sebenarnya sangat saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga hubungan persahabatan merupakan suatu hal yang niscaya. Namun bagaimana agar hubungan yang ada tidak bersifat destruktif dikarenakan sifat alamiah manusia yang memiliki emosi, agresifitas, egoisme, dan sebagainya, maka diperlukan suatu ajaran dan tata nilai yang dapat mengontrol sifat-sifat itu semua. Mungkin itulah sebabnya agama turun di bumi ini, dengan tata nilai dan ajaran yang kesemuanya untuk kemaslahatan manusia. Agama mengajarkan bahwa persahabatan yang terjalin haruslah berdasarkan hanya karena kepatuhan dan kepatuhan serta mengharap ridhoNya. Dan balasan dari itu semua akan didapat dihari akhir kelak, jika manusia yang beragama itu mengimaninya. Namun, sesungguhnya manfaat dari persahabatan karena kebaikan ini juga akan dirasakan di dunia juga, karena sudah menjadi hukum alam bahwa jika menanam benih kebaikan maka kebaikan pula yang akan kita dapatkan, dan mengenai kapan waktunya kita mendapat balasan kebaikan itu, hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Rabu, 28 April 2010

Manusia Sebagai Sumber Kekerasan & Konflik (1): Identitas Diri

created by MinorityIdeas


Proses pembentukan identitas menurut Paul Ricoeur, tidak lepas dari penilaian seseorang/orang lain yang menilai atau memberikan persepsi pada diri kita. Sehingga bisa dikatakan bahwa identitas yang ada pada diri kita ini merupakan bentukan dari orang lain.
Bagaimanapun identitas merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh manusia. Baik langsung maupun tidak langsung, identitas akan melekat didalam tubuh manusia dan identitas itu dibutuhkan untuk mendukung eksistensi manusia. Mengapa begitu? Dalam proses perjalanan hidup manusia, manusia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap segala sesuatu, termasuk terhadap dirinya sendiri. Manusia akan selalu bertanya, siapakah aku ini? Untuk apa aku di dunia ini? Bagaimana aku hidup didunia ini? Mengapa aku ada didunia ini? Dan sebagainya. Sehingga dari pertanyaan dan kegalauannya itu akan tumbuh suatu proses untuk mengenali dirinya sendiri dengan melakukan observasi melihat lingkungan sekitar, melihat orang-orang terdekat, dan manusia akan tahu setidaknya saat itu akan tahu siapa dia, untuk apa dia di dunia dan sebagainya. Proses ini akan terus berlanjut sepanjang hidup manusia. Maka, proses pembentukan identitas ini akan dimulai sedikit demi sedikit dari dalam diri manusia itu sendiri agar mereka tahu apa dan siapa diri mereka ini. Oleh karena itu, konsep identitas ini akan terbentuk dari apa yang disebut konsep diri.
Konsep diri, oleh Stuart (terjemahan Egi, Ramona, 2002 : 186), didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan memengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat dan dengan realitas dunia.
Dalam perjalanannya, konsep diri akan terus berkembang dan membentuk identitas kita sebagai manusia. Jadi, identitas akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya konsep diri, dan akan mengalami penambahan maupun pengurangan tergantung manusia itu sendiri yang mau menerima atau tidak menerima. Manusia juga tidak bisa menolak bahwa pembentukan identitas pada dirinya tidak hanya bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, tetapi ada peran lingkungan dan orang lain. Orang lain atau lingkungan sekitar terkadang akan memberikan nilai-nilai ataupun label pada diri kita sebagai manusia, dan kita bisa menerimanya ataupun tidak menerimanya. Namun, terkadang ada juga yang kita tidak mampu untuk menolaknya meskipun penilaian atau pelabelan itu buruk untuk diri kita sendiri, sehingga terbentuklah suatu identitas yang buruk dalam diri kita ataupun meluas menjadi sebuah identitas buruk bagi orang-orang yang memiliki identitas yang sama dengan kita, atau adanya generalisasi identitas karena satu dengan yang lainnya memiliki ciri identitas fisik atau ciri lainnya yang sama. Sebagai contoh, wanita diberikan identitas yang diskriminatif oleh laki-laki sebagai mahluk yang lemah, yang mana hanya mampu bekerja dirumah dan mengurus anak. Implikasi dari pelabelan/labelling dan penilaian ini memberikan dampak yang buruk pada identitas wanita selama beratus tahun lamanya bahkan hingga kini. Zaman dahulu, bayi wanita terkadang dibunuh ketika lahir, dan sebaliknya jika yang lahir bayi laki-laki maka akan diagung-agungkan. Dalam sebagian besar etnis dan suku yang ada didunia ini, mereka percaya bahwa jika ada yang mesti dijadikan tumbal untuk upacara adat, maka wanita lebih pantas untuk itu. Dalam konsep warisan, wanita juga terkadang hanya sedikit mendapat jatah warisan dibanding laki-laki. Dalam kehidupan modern saat ini, wanita masih diperlakukan diskriminatif disegala lini dan sektor baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Padahal baik wanita maupun laki-laki memiliki potensi yang sama dalam dirinya, tetapi karena “identitas”, wanita diperlakukan tidak adil.
Dari penjelasan diatas, maka Identitas tak jarang menjadi sumber terjadinya konflik kekerasan, yaitu karena adanya perbedaan identitas antara kita dengan yang lain, sehingga menimbulkan apa yang disebut sikap diskriminatif atau prasangka negatif dan pada akhirnya sikap-sikap itu mampu menggiring pada kekerasan baik fisik maupun non fisik. Untuk kasus perlakuan terhadap wanita, tak jarang laki-laki memperlakukan mereka dengan sikap kasar dan mengarah pada kekerasan, baik fisik, non fisik, maupun struktural. Sehingga inilah yang menggiring pada adanya konflik.
Untuk kasus lainnya lagi, identitas terkadang menjadi sebuah kebanggaan bagi setiap individu manusia. Identitas yang menjadi kebanggan ini tentunya merupakan sebuah identias yang terbentuk dengan suatu pelabelan dan pemberian konsep diri yang baik pula sehingga diterima dengan baik oleh manusia dan menjadi sebuah kebanggan serta selalu dicintai. Sehingga identitas tak lepas dari apa yang disebut sebagai konsep cinta.
Menurut Ibn Khaldun, manusia secara fitrah telah dianugerahi rasa cinta terhadap garis keturunan, golongan dan kelompoknya, yang artinya cinta terhadap identitas yang terbentuk dalam golongan atau keturunan tersebut. Rasa cinta ini menimbulkan perasaan senasib dan sepenanggungan serta harga diri dan kebanggaan kelompok, kesetiaan, kerjasama, dan saling membantu dalam menghadapi musibah atau ancaman yang pada akhirnya akan membentuk kesatuan dan persatuan kelompok.
Cinta sebagai sebuah konsep masuk dalam perbincangan filsafat melalui agama, khususnya ketika asal mula dunia dilukiskan sebagai suatu tindakan penciptaan dan pencipta yang diakui sebagai yang memcintai ciptaanNya, baik secara keseluruhan atau sebagian. Cinta sebagai salah satu dorongan manusia yang paling kuat, awalnya lebih dilihat sebagai kebutuhan akan kontrol, teristimewa ketika manusia sebagai rasional animale mampu menggunakan kemampuan rasionalnya. Cinta juga dipercaya mempunyai kekuatan untuk menyatukan manusia dalam suatu ikatan yang umum.
Ketika manusia hidup bersama-sama dalam suatu kelompok yang memiliki ikatan yang kuat yang didasari cinta terhadap (identitas) kelompok tersebut, maka manusia tersebut tidak akan rela jika salah satu anggota atau sebagian besar anggota kelompoknya terhina oleh kelompok lain yang berbeda identitas dengan mereka. Sehingga dengan segala daya dan upaya mereka akan membelanya dan mengembalikan kehormatan mereka.
Sebagai sebuah fitrah, maka rasa cinta terhadap (identitas) kelompok ini terdapat pula pada semua bentuk masyarakat, baik dalam bentuknya yang primitif maupun dalam perkembangannya yang modern. Perbedaannya hanya pada faktor pengikatnya. Dalam masyarakat primitif, faktor pengikatnya adalah ikatan darah atau garis keturunan. Sedangkan dalam masyarakat modern yang ikatan darahnya sudah tidak murni lagi satu suku, maka ikatannya didasarkan atas kepentingan-kepentingan anggota kelompok maupun yang secara imaginer menjadi kepentingan kelompok.
Konflik antar agama yang terjadi di Ambon, Poso, dan ditempat-tempat lainnya, merupakan salah satu contoh konflik kekerasan yang bermula dari adanya rasa yang tidak menerima akan adanya penghinaan ataupun pelecehan terhadap salah satu anggota kelompoknya (dalam hal ini antara kelompok agama islam-kristen). Agama sebagai sebuah identitas yang menyatukan anggota-anggota kelompok orang-orang yang beragama islam dan kristen akhirnya tidak menerima dan terjadilah konflik kekerasan yang menelan ratusan nyawa melayang.
Maka, “identitas” yang ada didalam diri manusia dapat dikatakan sebagai sumber terjadinya konflik baik fisik maupun non fisik. Lalu apakah “identitas” ini mesti dihilangkan agar konflik dapat dimusnahkan? sementara manusia juga membutuhkan “identitas”.

Jumat, 16 April 2010

Tragedi Mbah Priok

created by MinorityIdeas


Kita kembali menyaksikan konflik kekerasan yang melanda negeri ini. Tragedi Mbah Priok telah menelan korban jiwa 3 orang petugas Satpol PP, 146 orang luka-luka dan beberapa kendaraan bermotor milik disekitar daerah konflik habis dibakar warga Koja, Tanjung Priok. Meskipun tidak separah Tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984, yang menelan korban hingga ratusan jiwa, namun tragedi Mbah Priok tetap menelan korban jiwa, sebuah roman bangsa yang tidak beradab terjadi kembali di era yang menjunjung tinggi HAM dan hukum.

Suatu konflik kerap kali dimulai dengan masalah yang kecil dan remeh. Jika melihat berita yang dilansir media elektronik pada saat proses mediasi antara pihak pemerintah DKI Jakarta dengan warga Koja serta pihak Pelindo, Wakil Gubernur DKI menjelaskan bahwa sebenarnya pemprov bukan ingin menggusur makam Mbah Priok, tetapi menata jalan disekitar makam mbah priok yang berdekatan dengan pelabuhan tanjung priok agar pelabuhan tanjung priok memenuhi standar internasional. Hal ini juga dikeluhkan pihak Pelindo sebagai pihak yang akan melakukan penataan pelabuhan, dimana kapal-kapal angkutan barang dari China dan negara-negara lain di Asia yang akan menuju ke Amerika tidak mau bersandar dipelabuhan Tanjung Priok karena tidak memenuhi standar internasional, dan ini jelas mempengaruhi kegiatan ekonomi di Indonesia, khususnya didaerah Tanjung Priok.

Selain itu, makam Mbah Priok yang dibela warga setempat menurut Wakil Gubernur DKI sebenarnya sudah dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum lainnya. Jadi, jasad Mbah Priok sudah tidak ada di daerah Tanjung Priok itu. Hanya saja sebagian masyarakat masih percaya bahwa jasad Mbah Priok masih ada disitu. Pemprov DKI sendiri tidak akan menggusur makam tersebut, karena makam Mbah Priok telah diakui sebagai salah satu situs cagar budaya dan sejarah Jakarta.

Sejatinya, Tragedi Mbah Priok ini tidak seharusnya terjadi jika diantara pemerintah dan pihak warga Koja melakukan komunikasi dengan baik berkaitan rencana penataan Cagar Budaya Makam Mbah Priok. Namun, nasi telah menjadi bubur. Korban telah berjatuhan. Baik dari pihak Satpol PP maupun warga setempat kedua-duanya salah. Tidak seharusnya kedua belah pihak yang bertikai melakukan tindakan kekerasan. Satpol PP sebagai aparatur pemerintah harusnya lebih melindungi masyarakat dan menegakkan peraturan daerah dengan cara yang nir-kekerasan, begitupun juga warga setempat yang mayoritas bergama islam dan sering mengadakan pengajian di Makam Mbah Priok seharusnya tidak bertindak anarkis dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama islam.

Namun, dibalik terjadinya tragedi Mbah Priok ini, apa sebenarnya yang menyebabkan konflik ini menjadi sebuah tragedi yang menelan korban jiwa yang cukup banyak dan amarah warga sangat memuncak? Padahal daerah Koja ini sebelumnya merupakan daerah yang harmonis dan tentram, tetapi kini menjadi daerah mencekam dan masih diliputi emosi serta perasaan tidak aman.

Mengapa konflik Mbah Priok bisa meledak?
Menurut George Simmel (1991), seorang ahli sosiologi, memandang bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan di dalam suatu masyarakat. Simmel mengajukan suatu proposisi tentang intensitas konflik bahwa suatu konflik kekerasan akan muncul dan semakin membesar jika solidaritas diantara anggota kelompok yang terlibat itu kuat, dan semakin besar keharmonisan yang ada sebelumnya diantara anggota yang terlibat konflik, semakin besar pula tingkat keterlibatan emosinya. Selain itu, semakin suatu konflik dirasakan oleh para anggota yang terlibat konflik sebagai sesuatu yang memperjuangkan kepentingan mereka, semakin cenderung konflik akan semakin keras.

Jika melihat masyarakat Koja diderah sekitar Makam Mbah Priok, maka solidaritas mereka sangatlah kuat. Masyarakat ini sering melakukan pengajian dan ziarah yang diadakan di makam Mba Priok yang dikeramatkan. Ikatan solidaritas ini secara tidak langsung telah diperkuat oleh simbol makam Mbah Priok. Satu hal lagi bahwa komunitas yang muncul dari hasil pengajian di makam mbah priok ini cenderung bersifat militan. Sehingga ketika berhembus isu yang belum tentu benar adanya, mengenai penggusuran makam Mbah Priok, yang notabene merupakan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat, maka rasa solidaritas itu muncul dan menguat untuk membela simbol yang diagungkan dan dikeramatkan itu. Ditambah juga sikap militan warga setempat.

Namun, bagaimanapun ini juga tak lepas dari persepsi warga terhadap Satpol PP. Persepsi ini juga sangat mempengaruhi sikap warga dalam proses terjadinya konflik ini. Satpol PP yang umum dipersepsikan dengan petugas yang tanpa ampun dan selalu menggunakan kekerasan dalam setiap aksinya menggusur pedagang kaki lima, rumah dan tanah sengketa, dan sebagainya, yang imej ini memberikan persepsi negatif warga dalam memandang Satpol PP. Ditambah lagi Satpol PP yang diperlengkapi dengan alat-alat dan instrumen kekerasan seperti pentungan, membuat warga melihat Satpol PP ini merupakan musuh mereka yang akan mengganggu keharmonisan daerah Koja yang sebelumnya dalam keadaan aman dan tentram.

Mungkin kita akan bertanya, mengapa para tokoh dan pemuka masyarakat dan agama saat itu tidak memberikan suatu arahan dan nasehat kepada warga setempat untuk tidak melakukan kekerasan saat itu. Bagaimanapun, arahan dan masukan itu sebenarnya akan kurang efektif karena masyarakat sudah tidak dalam kondisi emosi yang tidak normal. Keterlibatan emosional ini dipengaruhi oleh adanya tingkat solidaritas dan harmonitas yang tinggi antara para anggota kelompok masing-masing. Dengan demikian dapat diduga bahwa kebrutalan yang terjadi dalam peristiwa konflik Mbah Priok dikarenakan adanya rasa sakit hati atau kecewa karena telah ada yang mengganggu harmonitas yang sebelumnya dinikmati. Oleh karena itu, maka menjadi wajar jika kekerasan atau kebrutalan justru terjadi di dalam masyarakat yang tadinya relatif damai. Selain itu, konflik akan semakin brutal jika kekerasan tersebut dipersepsi oleh para pelaku sebagai media atau alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang sangat prinsipil.

Apa yang mesti dilakukan selanjutnya?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemberi komando kepada Satpol PP dan juga warga Koja, tanjung Priok, kedua belah pihak ini sudah seharusnya melakukan pembenahan. Dari pihak pemerintah daerah sudah seharusnya dalam setiap praktek dilapangan yang dilakukan oleh Satpol PP menggunakan konsep nir kekerasan, yaitu lebih mengutamakan negosiasi dan diskusi yang merangkul semua elemen yang terlibat. Jika masih menggunakan kekerasan, maka pemerintah sekarang tidak ada jauh bedanya dengan pemerintah rezim orde baru dahulu yang represif. Kebiasaan-kebiasaan represif dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sesuatu justru cenderung akan membuat sebuah kekerasan baru yang muncul.

Pemerintah harus menghapus tindakan semena-mena terhadap masyarakat yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Dalam proses mediasi antara pemerintah, warga Koja dan Pelindo, ada bukti yang diperlihat warga dalam sebuah draft mengenai ketidakadilan pemerintah daerah yang belum memberi ganti rugi atas pengambilalihan tanah warga, yang mana sudah bertahun-tahun terbengkalai.
Dari sisi masyarakat setempat, sudah seharusnya tokoh agama dan masyarakat setempat untuk memanfaatkan media pengajian di Makam Mbah Priok untuk lebih mendakwahkan dan memberi nasehat kepada warga untuk dalam setiap sikap dan tindakan agar tidak mengutamakan kekerasan, bukan malah mengutamakan militanisme. Islam merupakan agama yang rahmatan lil'alamiin, yang banyak membawa pesan perdamaian. Sehingga ummat islam di Koja seharusnya mencerminkan islam yang damai, bukan islam yang menjunjung kekerasan.

Rabu, 31 Maret 2010

Konsep 'Nir Kekerasan'

created by MinorityIdeas


Pernahkah anda mendengar mengenai konsep nir kekerasan? Ya, ini merupakan suatu konsep yang belum terlalu familiar, karena konsep“kekerasan” lebih sering didengar dan dipraktekkan dalam penyelesaian masalah atau konflik, daripada 'nir kekerasan', dan pada akhirnya menimbulkan perdebatan apakah nir kekerasan itu sebuah keniscayaan atau hanya suatu hal yang utopis, dan apa batasan-batasannya? Karena itu, maka “kekerasan” harus kita ketahui terlebih dahulu.

Untuk menjawab kegalauan dan kebingungan saya itu, maka boleh kiranya saya mengutip sebuah tulisan Hasan Hanafi dalam bukunya: Agama, Kekerasan, & Islam Kontemporer, yang memaparkan bahwa kekerasan muncul bila eksistensi manusia terancam. Ketidakadilan social merupakan salah satu bentuk keterancaman eksistensi tersebut, karena penghancuran bertentangan dengan eksistensi manusia. Dalam sejarah, institusi politik merupakan media ekspresi entitas manusia. Kekerasan sangat mungkin terjadi jika fungsi tersebut hancur dan kehidupan social tidak akan tertata. Fenomena ini disebut dengan diaspora. Karena Negara adalah institusi tertinggi yang merupakan muara dari segala macam institusi yang ada, maka menghancurkan Negara akan menjadi penyebab serius dalam terjadinya kekerasan dalam skala besar.

Bilamana kekerasan terjadi? Kekerasan terjadi dalam lingkungan tertentu dimana hanya kekerasan yang menjadi satu-satunya jalan untuk mengekspresikan eksistensi kemanusiaan. Kekerasan hanyalah manifestasi eksternal dan yang terakhir setelah upaya yang panjang dan berliku dilewati. Kekerasan dimulai dari situasi yang terbentuk oleh tiga elemen: pertama, perasaan mendalam dari individu, kelompok, dan bangsa akan ketidakadilan dan keputusasaan; kedua, ketidakberdayaan individu, kelompok dan masyarakat dalam mengubah ketidakadilan tersebut melalui cara nir kekerasan; ketiga, ketiadaan dialog antara pelaku ketidakadilan dan korbannya, atau mungkin ada namun sekedar dialog semu. Pada momen seperti ini, dialektika kekerasan dan nir kekerasan mengalami guncangan luar biasa. Ketegangan antara tesis dan antithesis dalam dialektika tersebut mencapai puncaknya. Meledaknya gerakan kekerasan, baik yang bersifat represif maupun revolusioner, menjadi pertimbangan historis penting dalam penelitian untuk menemukan jalan tengah dalam proses dialektika.

Dalam bukunya, Agama & Budaya Perdamaian, Prof. Chaiwat Satha Anand, mencoba untuk membuktikan bahwa nir kekerasan merupakan suatu hal yang jelas ada. Beliau menjelaskan secara gamblang mengenai ajaran-ajaran agama besar di dunia yang pada intinya mengandung dan membawa pesan-pesan damai. Dimulai dari ajaran islam, sebelum masuk kearah nilai dan pesan damai yang dibawanya, islam sering kali dipandang sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Terutama pada konsep “jihad” yang menjadi banyak sorotan para pemikir Barat. Namun disini konsep Jihad yang sebenarnya bukanlah berperang ataupun melakukan tindakan kekerasan dengan membabi buta dan berlandaskan fanatisme. Justru Jihad yang sebenarnya adalah berarti menentang penindasan, kezaliman, dan ketidakadilan dalam semua bentuknya. Ibn Taymiya menjelaskan bahwa terkadang jihad dicapai melalui perasaan, kadang-kadang melalui lidah, atau melawan kelemahan dan kebusukan hati kita sendiri.

Tindakan nir kekerasan itu sendiri tercermin dalam tindakan suri tauladan Nabi Muhammad, Yesus, Gandhi, dan Sidharta Gautama, yang mewakili agama-agama besar di dunia ini. Nabi Muhammad sebagai suri tauladan dalam agama islam, yang mana mampu mengamalkan nilai-nilai ajaran islam dalam kehidupan nyata memperlihatkan tindakan nir kekerasannya. Sebagai contoh pada saat persengketaan pembangunan Kaabah, beliau Rasulullah menyelesaikan masalah kaummnya dengan tindakan yang arif tanpa kekerasan. Pun yang terjadi pada saat beliau kembali ke Mekkah (peristiwa penaklukan Mekkah) tindakan yang dilakukan oleh seorang Muhammad adalah justru memaafkan penduduk Mekah yang dulu memusuhinya. Yesus juga mengalami hal yang sama seperti Nabi Muhammad, yang mana ketika ia disiksa dan disalib, ia justru mendoakan orang-orang yang menyakitinya agar mereka dibukakan pintu hatinya dan dihapuskan dosa-dosanya karena ketidaktahuannya. Gandhi melalui ahimsa-nya dalam melawan kolonialisme di India merupakan suatu tindakan nir kekerasan yang justru membuatnya rela berkorban demi terciptanya kedamaian. Contoh-contoh yang sudah diapaprkan merupakan suatu nilai-nilai ideal agama yang sudah menjadi satu dalam tubuh dan jiwa orang-orang terpilih tadi, yang membuktikan bahwa tindakan nir kekerasan untuk mencapai yang disebut sebagai suatu perdamaian merupakan suatu hal yang nyata.

Namun, satu hal yang ingin saya tambahkan dalam tulisan Prof. Chaiwat Satha Anand bahwa beliau terlewatkan dalam menjelaskan bagaimana agama-agama besar tersebut, dengan segala nilai-nilai luhur dan perdamaiannya itu, mampu diinterpretasikan dengan bijak dan benar oleh orang-orang terpilih itu, karena tidak semua orang mampu meniru dan menauladaninya, yang mana terkadang terjebak dalam subyektifitas interpretasi yang cenderung mengikuti hawa nafsu manusia itu sendiri dan menolak nilai-nilai ideal yang bertolak belakang dengan agresifitas dan nafsu manusia.

Lepas dari nilai ideal ajaran agama, yang mencerminkan tindakan nir kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan masalah. Yang menjadi sebuah tantangan besar dalam mewujudkan tindakan nir kekerasan adalah tindakan-tindakan ketidakadilan yang sangat sering terjadi dalam kehidupan social sehingga terjadilah pembangkangan social yang merupakan sebagai bentuk ekspresi dalam melawan ketidakadilan ini, dan tentunya dalam bentuk kekerasan. Selain itu, represi Negara merupakan satu hal yang tanpa kita sadari merupakan suatu bentuk ancaman yang selalu ada dalam kehidupan bernegara, yang mana sangat bertolak belakang dengan konsep ideal Negara tetapi selalu eksis hingga saat ini. Tantangan-tantangan ini merupakan suatu hal yang mesti dihadapi oleh penganut ajaran nir kekerasan dan pada akhirnya jangan sampai “nir kekerasan” hanya akan menjadi sebuah slogan utopis belaka. Negara sebagai sebua institusi politik yang mewadahi kehidupan rakyatnya sudah seharusnya belajar untuk eksisten melakukan tindakan nir kekerasan, dan hal ini haruslah dimulai dari individu manusia masing-masing terlebih dahulu. Sehingga dengan terusnya dan membudayanya hal itu maka proses dialektika dan perputaran sejarah budaya akan mampu menciptatakan apa yang disebut sebagai budaya perdamaian dalam kehidupan manusia di bumi ini, dan hal ini merupakan suatu hal yang niscaya meskipun tantangan-tantangan yang besar akan selalu ada dihadapannya. Agama yang memiliki nilai-nilai sejati perdamaian tidak dapat disangkal menjadi sebuah doctrinal positif yang merasuki alam pikiran dan tindakan manusia sehingga budaya perdamaian yang menjadi harapan dan cita-cita umat manusia dapat terwujud.