MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Selasa, 02 Juni 2009

IndonesiaKu

created by MinorityIdeas


Seorang teman saya berkata kepada saya bahwa di luar negeri saat ini sudah mulai banyak pusat studi yang mengajarkan bahasa Indonesia. Menurut data Kajian Indonesia-Depdiknas, tercatat sekitar 73 negara telah memiliki Pusat Studi Bahasa Indonesia yang mengajarkan bahasa dan budaya Indonesia di negaranya masing-masing. Saat mendengar hal itu, sedikit kegembiraan dalam hati saya, karena ternyata bahasa Indonesia ternyata banyak diminati oleh orang-orang di luar Indonesia. Menurut pandangan saya, jelas hal ini merupakan suatu langkah dari apa yang disebut sebagai diplomasi kebudayaan Indonesia, karena mempelajari bahasa bukan hanya sekadar mempelajari bahasa itu, tetapi juga mempelajari kebudayaan, kehidupan dan nilai-nilai sosial tempat bahasa itu berasal.

Tentunya hal ini akan lebih memperkenalkan Indonesia kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang beradab dengan nilai sosial budaya dan keramahtamahan yang tinggi dan luhur.
Sebelum saya mengetahui kabar ini dari teman saya, saya sudah pernah mendengar isu bahwa Bahasa Indonesia pun sebenarnya bisa dijadikan salah satu bahasa Internasional PBB, karena pengucap bahasa Indonesia cukup banyak dan bahkan melebihi bahasa Arab, hanya saja ada syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi oleh pemerintah Indonesia sendiri jika ingin Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional.

Namun, muncul sedikit kekecewaan dalam hati saya karena ucapan dari teman saya tersebut, bahwa ia memandang fenomena ini hanya sebagai sebuah 'kepentingan asing', yang mana ingin mempelajari bahasa dan budaya Indonesia lalu memakainya sebagai alat untuk 'menguasai dan mengeksploitasi' kekayaan bangsa Indonesia. Bahkan ia dengan sinis mengatakan, " Emang apa bagusnya bahasa Indonesia sehingga orang asing pengen mempelajarinya, kalau bukan karena ingin mengeksploitasi Indonesia ini,bukan?"

Sedikit kegembiraan yang saya rasakan sebelumnya terhapus oleh banyak kekecewaan atas realita gambaran generasi muda saat ini yang terlalu sinis dan memandang remeh kekayaan bangsanya sendiri. Apakah generasi muda Indonesia saat ini telah malu menjadi bangsa Indonesia sehingga segala sesuatu yang berbau Indonesia selalu dipandang remeh dan sinis?
Gambaran serupa saya dapati saat membaca sebuah Catatan Mira Lesmana dalam harian Kompas, bahwa ia melihat fenomena genarasi muda dengan budaya ‘ikut-ikutan’secara tidak langsung telah menyempitkan dan memiskinkan Indonesia yang kaya raya. Saat ia melakukan promo filmnya keradio-radio diluar daerah Jakarta, penyiar radio yang notabene adalah anak muda dengan lancarnya bercuap-cuap ibarat penyiar radio di Jakarta, lengkap dengan selipan bahasa inggris-nya. Maka Mira Lesmana berkata,” hilanglah sudah keindahan lokal Indonesia saat ini”. Mira Lesmana sempat menanyakan kepada sang penyiar tersebut, mengapa mereka harus mengikuti bak penyiar radio di Jakarta, maka sang penyiar menjawab, “kalau kita gak seperti ini maka kita gak dianggap gaul dan pasti rating radio ini akan turun”.

Mira Lesmana juga melihat bahwa film-film dan sinetron di Indonesia sekarang ini sangat didominasi oleh tema dan genre yang sama, yaitu mengangkat seputar kehidupan di jakarta. Bahkan film hantu-hantunya didominasi oleh hantu-hantu Jakarta seperti Terowongan Casablanca, Jembatan Ancol, dan sebagainya. Begitu sempitkah Indonesia ini, sehingga tak ada topik lain yang bisa diangkat?Bukankah masih banyak keindahan lokal, entah itu kehidupan sosial masyarakat didesa yang penuh dengan keunikan dan nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi? Negeri ini adalah negeri yang kaya, bukan sebuah negeri yang miskin!

Saat saya melihat kepopuleran batik, dimana batik telah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini, saya justru merasa sedih. Apakah hanya batik yang kita miliki? Masih banyak seni tenun lainnya yang belum terjamah dan harus dipopulerkan seperti batik, mengapa hanya batik yang harus populer? Negeri kita ini adalah negeri yang kaya, ada banyak corak tenun kain yag berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri sesuai daerahnya.

Saat anak-anak muda masa kini digandrungi dengan musik-musik Barat, lalu ketika Band-Band beraliran melayu bermunculan mereka malah dicemooh, padahal kita sendiri adalah orang-orang dari ras melayu, mengapa kita justru bangga dengan aliran musik yang justru kebarat-baratan? Bukaannya saya benci atau alergi dengan segala musik dari barat, hanya saja mengapa kita justru jarang menghargai musik dari bangsa kita sendiri?

Mungkin apa yang saya paparkan sebelumnya hanyalah sedikit gambaran realitas generasi muda Indonesia saat ini dalam memandang bangsanya sendiri, yang dari hal tersebut saya bisa mengambil hipotesa bahwa kondisi generasi muda Indonesia saat ini berada dalam tahapan yang mengganggap sinis dan remeh bangsanya sendiri sehingga ‘memiskin’ negeri yang kaya ini. Benarkan anggapan saya ini?

gambar diunduh dari: www.indonetwork.co.id/RadioZoneIndonesia/8842

Minggu, 24 Mei 2009

Bingung Memilih Capres-Cawapres

created by MinorityIdeas


Jika ditanya mengenai siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan aku pilih nanti pada pemilu presiden, jujur aku akan menjawab bahwa aku masih bingung. Jawaban yang kulontarkan ini mungkin akan sama dengan jawaban orang kebanyakan. Namun, jawaban ini lebih baik dari pada kita tidak peduli sehingga kita menjadi golput atau bahkan ikut-ikutan atau malah memilih karena dibayar. Tak ada yang salah jika aku dan yang lainnya masih bingung untuk memilih siapa. Sebagai generasi muda intelektual yang menjunjung tinggi idealisme dan budaya kritis, sepatutnya kita menganalisa, mengkritisi, mempelajari atau bahkan meneliti siapa capres-cawapres yang akan kita pilih nantinya. Jangan sampai kita menjadi orang yang oportunis dan follower.


Tiga pasang capres-cawapres sudah cukup membuat berjuta-juta rakyat Indonesia ini bingung dengan apa yang akan mereka pilih nantinya. Sementara tiga pasanga capres-cawapres terus menebarkan pesonanya diatas kegelisahan dan kebingungan rakyat. Rakyat akan selalu menjadi korban, ibarat habis manis sepah dibuang. Apa yang didapatkan rakyat kebanyakan harapan-harapan hampa dan sedikit hak yang memang semestinya menjadi hak mereka, tetapi hal itu dibungkus ibarat sebuah hadiah atas hasil jerih payah pemimpin itu. Rakyat dibohongi! Jika tak ingin dibohongi maka kita harus kritis dalam memandang sesuatu. Jangan sampai kita terjebak dalam pencitraan yang bersifat sementara yang membutakan mata dan membius hati kita sehingga terjebak dalam lubang penyesalan.


Maka, bingung adalah wajar untuk saat ini. Untuk menjadi kritis adalah perlu perjuangan. Setiap harinya kita disumpal oleh pencitraan-pencitraan palsu, atau bahkan ada yang benar, tapi kita telah dibius oleh pencitraan palsu sehingga kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ya, menjadi kritis atau bahkan obyektif itu susah dan berat dalam situasi sekarang ini.


Saat kita mendapatkan informasi bahwa SBY-Berbudi merupakan calon yang handal karena prestasi mereka yang gemilang, tata krama baik, gaya bicara yang halus, maka jangan serta merta kita membenci atau meremehkan calon yang lain, karena disisi lain kita juga mendapatkan berita bahwa SBY-Berbudi merupakan calon yang tidak pro-rakyat dengan ideology neoliberalnya, yang mana akan semakin membuat jurang kemiskinan semakin lebar dan asset-aset bangsa akan dikuasai asing. Nah, lalu mana yang benar dari informasi ini?


Lain lagi dengan calon JK-Win. Pasangan ini, terutama dari kubu JK dikatakan sebagai pebisnis yang handal, pro ekonomi rakyat, gesit dan tanggap dalam mengambil keputusan. Namun, mengapa pada masa jabatannya JK justru tidak mampu membendung kebijakan penghapusan subsidi bahan bakar minyak yang notabene tidak pro-rakyat? Lalu apa yang benar?


Sedangkan pasangan Mega-Pro dengan ideology marhaensnya, yang mana menunjukkan ketegasannya bahwa mereka pro-rakyat dan memiliki rasa nasionalisme tinggi, tapi justru, khususnya pada masa pemerintahan megawati, banyak BUMN-BUMN yang dijual kepada asing. Bukankah itu yang juga disebut sebagai neoliberalisme? Belum lagi bad track record Praobowo pada masa orde baru yang jelas-jelas melanggar demokratisasi yang sedang berjalan dalam diri bangsa ini.


Jadi, wajar jika aku dan yang lainnya menjadi bingung untuk memilih. Siapapun tidak ingin terjebak dalam janji-janji palsu dan pencitraan palsu para capres-cawapres. Media, baik cetak dan elektronik, berperan penting disini sebagai pengayom, pemfilter, dan edukasi, bagi rakyat untuk menjadi bangsa yang kritis dan obyektif. Hentikan budaya oportunis dan follower sejak saat ini. Jika tidak, maka hal itu akan mendarah daging dalam bangsa ini dan menghancurkan bangsa kita dari dalam.


(gambar diunduh dari: www.inilah.com)

Kamis, 26 Maret 2009

Sekilas Tentang Belanda

created by MinorityIdeas


Belanda. Apa yang terpikirkan dibenakmu ketika mendengar kata ‘Belanda’? Apakah kagum, benci, biasa-biasa saja, atau tidak tahu? Ya, mungkin ada berbagai macam pikiran tentang Belanda, yang pasti ‘Belanda’ bagi orang Indonesia khususnya sudah memberikan suatu goresan sejarah yang tidak akan pernah dilupakan bahkan hingga dunia ini kiamat. Baik buruknya konotasi ‘Belanda’ bagi kita, disini saya hanya ingin berbagi sedikit informasi tentang Belanda yang baru saja saya dapat dari seorang teman yang memang sudah pernah mengunjungi negeri kincir angin tersebut dan menuntut ilmu disana. Sebab jujur, Belanda yang saya tahu selama ini hanyalah sebuah gambaran negeri aggressor yang kecil, tidak lebih dari itu. Namun, ada sebuah sisi lain pada negeri Belanda ini yang sebenarnya patut untuk diberi perhatian, terutama oleh kita sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh mereka agar dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran.

Pertama, bahwa negeri Belanda itu sangat kecil, paling sebesar provinsi Banten, tetapi memiliki kekuatan tangible yang cukup kuat untuk menopang eksistensi negara dan rakyatnya. Itulah sebabnya, kita seharusnya patut untuk lebih giat lagi belajar dalam membangun negeri kita ini karena Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi negara besar jika dibandingkan Belanda. Indonesia memiliki luas wilayah yang luar biasa, kekayaan alam yang sangat melimpah. Betul apa yang dikatakan Koes Plus bahwa tongkat yang dilemparkan pun bisa jadi tanaman. Sementara di Belanda tidak bisa. Tanah negeri Belanda adalah pasir, seperti pasir yang bisa kita temui di pantai. Selain luas wilayah yang kecil, mereka juga menghadapi masalah air sejak dulu hingga sekarang. Masalahnya adalah sebagian negeri mereka berada dibawah permukaan laut, karena itu mereka membuat bendungan di pantai. Bila kita berdiri di bendungan itu, maka kita akan melihat bahwa permukaan laut lebih tinggi dari permukaan tanah.

Hal lain yang mesti kita ketahui juga, bahwa cuaca di Belanda sangat buruk. Orang Belanda juga mengatakan hal serupa. Angin kencang dan mendung sering terjadi, dan karena 4 musim, maka kita akan jarang menemukan panas. Musim gugur, musim dingin, dan semi pada dasarnya dingin juga. Sementara musim panas yang 4 bulan lamanya tidak benar-benar 4 bulan, karena awal musim panas dan diakhirnya cuaca tetap saja dingin. Sementara puncak musim panas paling hanya satu bulan saja. Dengan demikian, sinar matahari disana menjadi sangat berharga.

Kita orang Indonesia yang sepanjang tahun menerima sinar matahari menjadi mengerti betapa Indonesia adalah surga. Cerita orang-orang Belanda yang dahulu pergi ke Indonesia juga mengatakan seperti itu. Namun, karena kita terbiasa hidup enak, jadi kita lupa bahwa telah diberi nikmat yang luar biasa oleh Allah SWT.

Selain soal cuaca, persoalan hubungan antar personal juga tidak enak. Berteman di Belanda sangat susah. Di Indonesia, kita bisa berteman dengan orang yang kita temui di jalan. Kita bisa ngobrol dengannya. Hal ini sangat berbeda di Belanda. Walaupun kita memiliki teman dekat seorang Belanda, kita mungkin tidak akan pernah diundang kerumahnya. Tempat yang memungkinkan untuk diundang dan bertemu adalah kafe, sedangkan rumah hanyalah diperuntukkan bagi keluarga yang sangat dekat. Seorang Palestina yang sudah tinggal di Belanda selama 20 tahun, ia hanya memiliki beberapa teman orang Belanda saja. Juga demikian dengan seorang Indonesia yang kawin dengan orang Belanda dan sudah hidup disana selama 14 tahun, ia hanya kenal dengan 7 keluarga saja. Karena itu, ini akan menjadi masalah besar bagi kita yang ingin tinggal di Belanda. Namun, orang Belanda menganggap ini sebagai hal yang biasa saja.

Kelebihan disana adalah, orang-orang Belanda sangat tertib dan taat hukum. Pelayan apa saja tidak akan melayani orang yang menyerobot antrean. Lingkungan mereka sangat bersih, susah bagi kita untuk menemukan sampah. Segalanya teratur diletakkan pada tempatnya. Tidak ada spanduk dan billboard. Kalaupun ada, ukurannya kecil dan tingginya hanya dua meter. Bayangkanlah sebuah negeri yang tidak memiliki sampah, betapa sangat indah dan bersih. Lalu, bandingkanlah dengan apa yang ada di negeri kita ini, fiuhh….

Soal pendidikan, satu ruang kuliah paling hanya diisi 20 mahasiswa saja. Ruang kelasnya juga kecil. Jadi, mahasiswa dan dosen berhadap-hadapan. Perpustakan jangan ditanya. Mereka memiliki koleksi buku yang luar biasa. Buku itu dari yang berumur ratusan tahun hingga yang terbaru. Ingin pintar adalah hal yang mudah disana. Khusus untuk studi Indonesia, hampir semua buku yang terbit di Indonesia ada kopiannya disana. Kita juga dibimbing oleh professor yang ahli dibidangnya. Hampir semua orang Belanda juga bisa berbahasa Inggris, dari anak-anak kecil hingga yang tua. Sebagai tambahan, kehidupan disana sangat bebas. Praktek lesbian dan homo adalah hal biasa. Tidur sekamar bersama pacar adalah hal biasa pula. Sejak usia remaja mereka sudah terbiasa demikian. Beberapa bulan lalu misalkan Koran Tempo memberitakan bahwa anak-anak usia 15 tahun di Amsterdam sudah pernah melakukan hubungan seksual. Banyak cerita mahasiswa Indonesia merasa terganggu oleh desahan pasangan yang sedang melakukan hubungan seks di kamar sebelah. Sesuatu yang tak terbayangkan di Indonesia.

(Sebagian besar sumber tulisan merupakan balasan email dari: ibnuaviciena@yahoo.com. Dengan penambahan seperlunya)

Senin, 16 Maret 2009

Waktu dan Masa Muda

created by MinorityIdeas


Judul: Ya Allah…Tahu-Tahu Kini Saya Telah Tua!
Penulis: Jamal Ma’mur Asmani
Penerbit: DIVA Press
Tebal: 228 halaman

Hasan Al-Bana pernah mengatakan bahwa waktu adalah kehidupan. Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kehidupan. Begitu pentingnya waktu, sampai Allah bersumpah dengan waktu. Wal `ashr, demi masa, kata Allah dalam surat al-Ashr. Betapa Allah juga mementingkan waktu melalui sumpahnya yang lain dengan menggunakan satuan waktu yang lebih beragam. Misalnya, walfajri, demi waktu fajar (al-Fajr:1), wadhdhuha, demi waktu dhuha (Adh-Dhuha:1), wallaili, demi waktu malam (asy-Syams:3), wannahari, demi waktu siang (asy-Syams: 4). Sesungguhnya di balik perhatian Allah terhadap waktu terdapat pesan penting buat manusia, yaitu agar mereka juga memperhatikan dan mempergunakan waktu sebagaimana mestinya yakni dengan beribadah secara total dan benar.

Kita juga tahu bahwa satu-satunya hal yang tidak bisa di rem adalah waktu. Saat kita telah melakukan kesalahan beberapa detik yang lalu, kita tidak pernah bisa menghentikan waktu untuk mengembalikan kesedia kala agar tidak terjadi kesalahan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kesalahan yang telah terjadi itu dapat merugikan diri kita sendiri atau bahkan orang-orang di sekeliling kita. Untuk orang-orang yang mau berpikir, disinilah mereka melihat bahwa waktu sangatlah berharga, tetapi bagi orang-orang yang tidak mau berpikir dan tidak bisa mengambil hikmah akan setiap kejadian, maka setiap kesalahan akan dianggap angin lalu dan bahkan waktu menjadi obyek cercahan atas kesialan yang menimpanya. Orang-orang dengan tipe pertama akan selalu berusaha untuk tidak mengulangi kesalahannya dan sebanyak mungkin melakukan amalan, karena waktu bagi mereka begitu berharga dan tidak dapat diputar kembali, sedangkan orang-orang dengan tipe kedua memiliki banyak peluang untuk mengulangi kesalahan yang sama dan terlena oleh waktu yang terus berlalu tanpa banyak berbuat amal.

Ustadz Yusuf Mansur menjelaskan dalam bukunya yang berjudul,”Buat Apa Susah? Segarkan Hidupmu dengan Percaya”, bahwa kita bisa menganalogikan waktu hidup sebagai sapu lidi yang kokoh. Setiap hari satu batang lidi gugur, sampai pada satu saat tidak ada lagi lidi yang tersisa. Kalau kita memboroskannya, berarti lidi itu hilang tanpa kita sempat menyapu. Maka, menyapulah sebanyak dan sesering mungkin sebelum lidi-lidi itu berguguran. Gunakanlah waktu muda untuk berkarya besar, sebelum datangnya waktu tua ketika tidak mampu lagi berbuat apa-apa.” Lalu apakah kita akan melewatkan waktu muda dengan hal-hal yang tidak bermanfaat hingga tak terasa masa tua telah datang? Mengapa waktu muda kita begitu berharga? Bagaimanakah cara memperlakukan waktu muda kita sebagaimana mestinya? Karena tentu saja untuk bisa memperlakukan waktu dengan semestinya itu harus ada pemahaman yang benar tentang hakikat waktu dan keberadaan eksistensi pemuda.

Buku karya Jamal Ma’mur Asmani ini, mungkin dapat membantu kita untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas. Buku ini memberikan penjelasan yang menarik tentang pentingnya sosok pemuda dalam kaitan manajemen waktu mudanya. Dengan gaya bahasa yang jelas dan mudah dicerna, pesan-pesan yang disampaikan penulis sangat mengena dan relevan dengan realita yang ada dalam kehidupan remaja muda saat ini. Dimulai dengan penjelasan akan pentingnya sosok pemuda di dunia ini, persoalan-persoalan yang dihadapi pemuda, dan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan waktu muda semestinya, hingga persiapan menjelang datangnya kematian menjadi ending dari buku ini.

Secara tegas dan kritis, penulis memulai tulisannya dengan menjelaskan akan fungsi dan peran eksistensi pemuda bagi bangsa ini sebagai agent of social change (agen perubahan sosial), agent of transformation (agen perubahan), dan agent of the future (agen masa depan). Sehingga secara tidak langsung tanggung jawab moral yang mesti dipikul pemuda dalam masa mudanya dapat dikatakan sangat berat, tetapi mulia dan bernilai luhur. Penulis dalam buku ini seolah-olah menyadarkan kita (baca:pemuda) dari sebuah amnesia yang disebabkan oleh besarnya pengaruh negatif lingkungan saat ini. Penulis memperlihatkan kepada sebuah realita yang sehari-hari sangat dekat dengan kita, yang mana tanpa terasa telah membuat kita terlena untuk menyia-nyiakan waktu ke arah negatif-destruktif. Secara langsung maupun tidak langsung generasi muda Indonesia telah dipengaruhi globalisasi budaya yang menciptakan budaya hedonis, konsumtif, konsumeris, dan sekularis. Budaya-budaya ini pada akhirnya akan menciptakan sebuah perilaku pemuda yang negatif-destruktif, seperti pergaulan bebas, larut dalam geng hitam, berzina, ke diskotek, memakai narkoba dan minum minuman keras, pembunuhan, perkelahian, dan sebagainya. Jika sebagian besar perilaku pemuda Indonesia seperti itu, maka akan menjadi apa bangsa ini nantinya? Sebuah bangsa yang sedang menuju kejurang kehancurannya.

Oleh sebab itu, fungsi dan peran pemuda yang sesungguhnyalah yang coba menjadi tema besar penulis dalam buku ini. Pemuda yang sesungguhnya adalah pemuda yang memiliki perilaku positif-progressif. Dimana melakukan sesuatu hal yang bermanfaat dalam dimensi jangka pendek dan jangka panjang. Sehingga terwujudlah sosok pemuda pemimpin harapan bangsa. Bagaimanakah sosok pemuda pemimpin harapan bangsa yang mampu memanfaatkan waktunya secara positif progresif?

Tentu saja pertama mesti dilandasi sikap tanggung jawab. Tanggung jawab dalam artian suatu sikap mental untuk menyelesaikan setiap pekerjaan secara baik dan berkualitas. Setelah itu, kita mesti belajar bagaimana cara menjadi pemuda yang benar dan pintar. Benar dan pintar adalah dua syarat yang harus ada dalam satu jiwa, satu langkah, satu komitmen, satu warna, dan satu kesatuan yang saling menyempurnakan.

Dalam bab-bab selanjutnya, penulis memberikan banyak pesan-pesan yang sangat bermanfaat bagi pemuda. Terutama bagaimana menjadi pemuda yang handal dan mampu menghargai waktu. Contohnya dalam Bab 3, penulis membahas tentang bagaimana memahami waktu dan memanfaatkan waktu. Kebanyakan pemuda sering menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Padahal waktu itu adalah modal yang sangat besar dan mahal dari Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Barangsiapa yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik, maka ia akan meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Namun, barangsiapa yang menyia-nyiakan waktu, niscaya ia akan sengsara.

Penulis juga menjelaskan bahwa pemuda haruslah memiliki cita-cita yang besar dan diwujudkan dengan sebuah prestasi. Karena prestasi merupakan peniggalan yang tiada akhir dan mampu memberi manfaat kepada orang lain. Jika prestasi dan karya telah mampu diciptakan, maka kebesaran Allah SWT akan diperlihatkan sebagai sebuah kebahagiaan yang hakiki. Waktu yang tidak terbuang sia-sia di masa muda dengan melakukan hal-hal bermanfaat dan amal shalih, maka di masa tua kelak akan dinikmati dan menjelang kematian tiadalah yang mesti diberatkan, karena berjuta-juta pesona telah kita torehkan dimasa muda bagi manfaat orang banyak dan diri sendiri. Jangan sampai kita menyesal pada akhir hayat kita, karena penyesalan akhir tiada guna. Lalu, apakah kita sebagai pemuda akan terus menyia-nyiakan waktu hingga maut menjemput?

Pada dasarnya, buku ini sama seperti buku-buku lainnya yang berisi tentang motivasi hidup atau muhasabah diri. Namun, perbedaan yang coba disajikan dalam buku ini adalah bahasa yang digunakan oleh penulis mudah dimengerti dan pesan-pesan yang disampaikan sangat aplikatif. Membaca buku ini ibarat kita diajak berkaca dan berintrospeksi diri akan apa yang sudah kita lakukan selama ini dalam memanfaatkan waktu. Pesan-pesan yang disampaikan penulis yang aplikatif meningkatkan semangat untuk segera berbenah diri agar hari ini jauh lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik lagi dari hari ini.

Selasa, 10 Februari 2009

Menciptakan Jaringan Sebelum Pemilu

created by MinorityIdeas

Hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 214 UU no 10/2008 memberikan dampak yang sangat signifikan pada perubahan strategi pemenangan Pemilu legislative 2009. Pembatalan dari pasal ini mengatur bahwa berdasarkan suara terbanyak, bukan berdasar nomor urut, yang bisa mengantarkan caleg untuk memperoleh kursi di dewan perwakilan. Sehingga cara-cara instan yang dilakukan caleg untuk memenangkan pemilu sebelumnya dikhawatirkan tidak ampuh lagi pada pemilu 2009 ini.


Akibat pembatalan pasal 214 UU no 10/2008 memberikan suatu perubahan pada dinamika politik Indonesia, yang menunjukkan bahwa demokratisasi yang berjalan semakin menunjukkan kedewasaannya. Hak suara pemilih (masyarakat) disini akan lebih dihargai karena mereka memilih caleg tentunya berdasarkan atas asas ‘mengenal’. ‘Mengenal’ disini tentunya bukanlah asal-asalan mengenal disebabkan hanya karena adanya baliho ataupun poster caleg tersebut yang banyak bertebaran dimana-mana, tetapi lebih kepada kinerja, kualitas, dan dedikasi seorang caleg kepada masyarakat. Sehingga caleg tersebut menjadi kuat posisinya dimata masyarakatnya.


Pembatalan pasal ini juga membuat caleg-caleg yang menggunakan cara lama yang instan menjadi kelimpungan. Cara lama dan instan yang dimaksud disini adalah cara yang menganggap uang diatas segala-galanya. Sehingga asal ada uang yang banyak, dalam waktu yang singkat dan mepet segalanya dapat dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat. Inilah yang banyak terjadi disetiap menjelang pemilu legislative. Biasanya kurang dari satu tahun atau bahkan enam bulan para caleg baru memulai sosialisasi yang terkesan mendadak. Mulai dari iklan dimedia massa, tebaran baliho, poster, pamphlet, dan atribut-atribut lainnya, mengadakan roadshow yang diiringi hiburan-hiburan yang tidak jelas, tak jarang juga pemberian bantuan sembako atau pembangunan dengan pamrih semata. Kebaikan itu hanya ada saat menjelang pemilu, sesudahnya, masyarakat tidak terlalu berharap. Itu semua hanya sebuah sajian semu para calon wakil rakyat untuk mendapatkan kekuasaan.


Memang proses untuk menjadi anggota legislative cenderung dilihat sebagai proses yang memerlukan banyak modal (uang). Sehingga orang yang menjadi caleg sudah tentu memiliki banyak modal. Disini akan membuat kecenderungan sebagian besar yang sudah mengeluarkan modal besar dalam proses pencalonannya akan berpikir untuk bagaimana mengembalikan modalnya itu dalam masa jabatan sebagai wakil rakyat. Hal ini tidak jarang menyebabkan masyarakat yang sudah memilihnya menjadi terlantar. Janji tinggallah janji yang tak pernah bisa direalisasikan oleh wakil rakyat yang duduk disinggasana atas bantuan rakyat.


Uang bukanlah segalanya

Disaat inilah sebenarnya dituntut calon wakil rakyat yang memang benar-benar memiliki kompetensi yang handal, berkualitas, dan berdedikasi bagi masyarakat, walaupun tidak memiliki modal (uang) yang banyak. Karena seorang yang memiliki kualitas, kompetensi, dan dedikasi belum tentu memiliki modal banyak. Inilah yang menunjukkan bahwa uang bukanlah segala-galanya, tapi bagaimana dedikasi dan kualitas yang dutunjukkan kepada masyarakat secara ikhlaslah yang akan mengantarkannya untuk menjadi wakil rakyat.


. Kualitas, kompetensi, dan dedikasi, merupakan tolak ukur bagi caleg yang benar-benar dapat diharapkan rakyat. Tentunya tolak ukur tersebut tidak bisa dipraktekkan oleh setiap caleg secara instan dalam waktu/tempo yang singkat dan mepet. Menurut DR. Sidik Jatmika, idealnya, seorang caleg sudah harus mampu mempersiapkan segalanya sekitar 3 (tiga) tahun sebelumnya. Kemudian, minimal 6 (enam) bulan dilakukan evaluasi sejauh mana tingkat efektifitas berbagai taktik yang telah dilakukan. Disisi lain, para caleg memiliki waktu yang cukup untuk berkomunikasi dan membangun citra dirinya secara mendalam kepada calon pemilihnya.


Dalam waktu yang cukup lama itulah para caleg dapat memberikan kontribusi yang maksimal kepada masyarakat sebagai bahan personal building. Selain itu, para caleg juga bisa membangun dan menciptakan strategi modal non-uang untuk memperbesar penggalangan jumlah pemilih dan pendukung. Strategi modal-non uang ini berupa penciptaan jaringan massa dari modal budaya dan simbolik. Jaringan yang berasal dari modal budaya adalah misalnya jaringan yang dimiliki oleh caleg yang berasal dari sektor keilmuan formal (TK,SD, SMP,SMA,PT); non formal seperti, tempat kursus, sanggar seni, karang taruna, dan sebagainya, yang semua dapat dihimpun oleh caleg untuk dijadikan massa pendukung dengan strategi yang inovatif. Strategi simbolik dapat dengan cara menggalang dukungan dan membentuk jaringan dari pihak keluarga, yaitu mulai mendata silsilah keluarga besar yang dimungkinkan menjadi pemilih potensial, merangkul dan membangun ormas-ormas baik yang bersifat keagamaan dan kedaerahan, kelompok-kelompok sosial seperti, pengamen, pedagang, kelompok tani, pengrajin, dan sebagainya, serta organisasi-organisasi lain yang dapa dijadikan basis kekuatan dan jaringan.


Semua modal tersebut lalu diakumulasikan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun strategi dan peta kekuatan dalam menghadapi saingan menjelang pemilu. Namun, mesti diingat bahwa tujuan dari itu semua sejatinya bukan untuk mendapatkan tampuk kekuasaan semata, tetapi lebih kepada bagaimana membangun dan berdedikasi kepada masyarakat melalui jaringan yang sudah dibentuk demi kesejahteraan masyarakat, itulah tujuan utamanya. Sedangkan duduk sebagai wakil rakyat hanyalah sebuah hadiah dari apa yang sudah diberikan dan didekasikan sebelumnya kepada masyarakat.