MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Jumat, 07 Mei 2010

(5) Konsep Toleransi

created by MinorityIdeas


Kata 'toleransi' mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Semenjak SD hingga kuliah, kita sudah terbiasa mendengar atau bahkan memahami apa itu Toleransi. Toleransi sebagai sebuah konsep ideal dalam berkehidupan bermasyarakat, bangsa, dan negara, sayangnya lebih terkesan sebagai sebuah konsep formalitas belaka, yang selalu dihadirkan dalam setiap kurikulum studi kewarganegaraan maupun studi Pancasila. Sehingga, kita hanya mengetahui belaka tanpa bisa memahami lebih dalam dan menginternalisasi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan nyata. Mungkin ini terlihat pesimistis, tapi kenyataan membuktikan, sudah terlalu banyak kasus-kasus baik kekerasan fisik maupun non fisik yang terjadi karena sikap intoleransi kelompok-kelompok yang berbeda etnis, agama, ideologi dan berbagai macam perbedaan lainnya. Tak jarang pula ratusan bahkan ribuan nyawa melayang, yang sebagian besar disebabkan oleh sikap tidak tolerannya berbagai kelompok yang berbeda.
Terminologi toleransi secara umum diartikan sebagai sebuah term atau istilah dalam konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Toleransi juga biasanya diartikan sebagai sikap, perilaku, atau perbuatan yang menerima, mengakui, dan/atau mengenal segala perbedaan yang eksis dalam berbagai kelompok yang majemuk/plural.
Dalam buku “On Toleration”, karangan Michael Walzer, dipaparkan mengenai konsep toleransi secara filosofis, bahwa Toleransi akan selalu dan penting dipergunakan ketika kita dihadapi dalam situasi atau kondisi dimana kita berhadapan dengan orang lain atau kelompok yang berbeda dari kita (Other/Stranger). Mengapa? Sudah menjadi hal yang natural bagi sebagian besar manusia bahwa setiap berhadapan atau bertemu dengan orang asing atau kelompok lain yang belum pernah dikenal sebelumnya, maka ada kecendrungan kita akan menilai mereka dengan segala pengetahuan yang sebelumnya ada di alam pikiran kita, yang didapat dari pengalaman mengenai obyek tersebut (orang asing atau kelompok lain tersebut). Pengetahuan dan informasi itu terkadang tidak selalu benar dan obyektif, sehingga kita akan selalu cenderung memberi penilaian negatif atau stereotyping kepada other/stranger tersebut. Hal inilah yang perlu dihindari, karena itu akan mempengaruhi kita dalam bersikap dan berprilaku yang bisa menggiring kearah sikap diskriminatif dan pada akhirnya bisa memicu pada aktualisasi tindak kekerasan dan munculnya konflik hingga pada skala yang besar.
Secara implisit, Walzer menjelaskan bahwa Toleransi memiliki lima level, yaitu dari level bawah – sangat tradisional- hingga yang sangat modern. Pada tahap awal, toleransi bisa dianalogikan ibarat dua kelompok mafia yang saling bertengkar dan terus berperang. Ketika mereka kelelahan karena terus menerus dalam kondisi yang tidak aman dan damai disebabkan oleh peperangan yang mereka lakukan, maka mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti berperang. Namun, disini tidak terjadi suatu dialog dan kesepakatan diantara dua belah pihak yang bertikai, mereka tetap eksis satu sama lain. Hal ini tetap dapat disebut sebagai suatu sikap yang Toleran, dalam bentuknya yang sangat tradisional. Mereka (atau kita) memandang Other tetap eksis, tapi mereka (kita) tidak mau perduli dan juga tidak mau mengakui (sebenarnya) dengan segala sikap dan ekspresi Others/stranger tersebut. Toleransi dalam bentuk seperti ini sebenarnya sangat lemah dan sewaktu-waktu dapat hilang sehingga memicu kembali terjadinya konflik.
Toleransi pada level kedua, dapat dianalogikan sebagai sikap “cuek” kita terhadap orang lain (other/stranger) ketika bertemu disuatu tempat, yang mana kita mengakui adanya orang lain tersebut tapi kita tidak memiliki hasrat untuk mau mengenalnya, atau berkomunikasi (sekedar menyapa). Kita hanya bersikap “cuek” atau tak acuh, dan ini sebenarnya pula sudah termasuk dalam sikap yang toleran dalam bentuknya yang sangat tradisional pula, yang tak jauh beda dengan toleransi pada level sebelumnya.
Pada tahap atau level yang ketiga, Toleransi berwujud dalam bentuk 'respect' kita terhadap yang lain/other. Respect disini merupakan suatu sikap atau perilaku yang mendorong kita untuk mengenal dan menghargai yang lain. Dalam hal ini, kita dituntut untuk bisa menekan rasa emosi, ketidaksenangan, atau ketidaknyamanan kita terhadap orang lain/other tersebut, yang timbul dari perbedaan antara yang lain dengan diri atau kelompok kita. Sikap respect disini bukanlah berarti kita menerima orang lain hanya karena kita “senang” dengan orang lain itu dalam bersikap dan berperilaku atau cocok seperti yang kita inginkan (atau sesuai dengan persepsi kita), tetapi respect lebih merupakan sikap penerimaan kita terhadap orang lain dengan apa adanya kekurangan dan perbedaan yang dimiliki oleh yang lain/other tersebut.
Toleransi pada tahap berikutnya juga lebih maju, atau modern, yaitu toleransi yang altruistik. Toleransi dalam level ini merupakan suatu sikap penerimaan kita terhadap other atau stranger bukan karena perbedaan yang dimiliki oleh other atau stanger tersebut, tetapi kita lebih melihat eksistensi orang lain (other) sebagai sebuah refleksi nilai-nilai luhur dan ideal dari negara, agama, kebudayaan, dan ideologi. Sehingga dari sikap ini akan lahir sebuah bentuk sikap yang saling mendukung, kerjasama, saling menghormati, dan bertenggang rasa, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat majemuk dan plural.
Selanjutnya, toleransi pada level yang terakhir ini merupakan toleransi yang lebih bersifat “multikulturalisme”, yaitu suatu sikap toleran yang bukan hanya didasari oleh sikap pengakuan kita, sikap penghormatan, dan sikap penerimaan terhadap segala perbedaan yang ada pada 'yang lain', tetapi juga adanya suatu sikap dari kita untuk mau berbaur dan menyatu serta belajar dari segala hal-hal baru yang ada pada 'yang lain, other, stranger', sehingga dari hal itu bisa menciptakan suatu 'self development' pada diri kita/kelompok kita khususnya, dan dalam komunitas yang lebih luas pada umumnya. Dari hal itu, maka akan mampu tercipta suatu kehidupan yang harmonis, tenteram dan damai.
Dalam suatu kehidupan masyarakat yang plural (seperti Indonesia), sikap toleransi sangat dibutuhkan. Sikap toleransi ini juga harus bisa didukung dengan suatu dialog yang membawa pada kesepakatan pada dua atau lebih kelompok/komunitas yang berbeda. Dalam suatu masyarakat yang tingkat kesepakatan (dialog/kesepakatan) tinggi maka toleransi akan semakin tinggi. Namun, jika tingkat kesepakatan rendah maka toleransi lebih rendah juga.
Dalam suatu kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, suatu kebersamaan dalam kehidupan yang plural merupakan hal yang pasti. Tanpa kebersamaan maka toleransi susah untuk bisa diwujudkan dan direalisasikan. Sehingga jikalau kebersamaan bisa dibina maka kehidupan yang damai bisa direngkuh dan dijaga dengan baik pula. Hanya saja kita tidak boleh melupakan bahwa toleransi juga mensyaratkan 'reciprocity' (hubungan timbal balik). Tidak mungkin hanya satu orang atau satu pihak yang melaksanakan sikap toleran sementara 'yang lain/others' tidak melakukan dan mengaktualisasikannya terhadap kita. Selain itu, sikap yang akomodatif juga dibutuhkan dalam kehidupan yang menjunjung toleransi. Jika sikap yang akomodatif tidak ada, maka yang ada justru dominasi kelompok yang mayoritas terhadap kelompok minoritas. Kelompok mayoritas dengan segala nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan harus bisa menjamin bahwa hal-hal tersebut tidak membuat kelompok minoritas merasa didiskriminasi atau termajinalkan. Apalagi ketika kelompok minoritas menuntut suatu keadilan dan ingin berdialog, namun kelompok mayoritas tidak mau menerima dan menganggap bahwa kebenaran yang dianut mereka sudah final sehingga nilai dan peraturan itu menjadi sebuah paksaan bagi yang minoritas, maka ini tidak bisa disebut sebagai sikap yang akomodatif dan toleransi dalam bentuk yang modern tidak bisa tercipta.
Sikap toleransi haruslah mampu diciptakan dan diaktualisasikan dalam segala dimensi kehidupan, yaitu dalam kehidupan berpolitik, sosial, budaya, agama, dan ekonomi. Dalam kehidupan politik sebagai contoh, setiap partai politik maupun fraksi-fraksi yang ada di parlemen, seharusnya mampu menghargai perbedaan ideologi yang dianut setiap parpol,dan setiap parpol maupun fraksi bisa bersinergi untuk bisa membangun bangsa dan negara ini, bukan saling menjatuhkan ataupun saling mencemooh. Ini justru makin memperparah kondisi negara kita dan memperlihatkan belum dewasanya para pemimpin dan elit di negara ini dalam berpolitik. Dalam kehidupan sosial budaya, kita dituntut untuk bisa menghargai, menerima, menghormati, dan bekerjasama dengan berbagai macam etnis, suku, dan kelompok yang tersebar ribuan banyaknya di indonesia ini khususnya. Konflik antar etnis seperti yang pernah terjadi antara etnis madura dan dayak, sikap diskriminatif pemilik kos di jogja terhadap mahasiswa pendatang dari papua, dan berbagai realitas lainnya, sudah seharusnya dihilangkan dengan meningkatkan toleransi dan dialog diantara kedua belah pihak. Selain itu, isu agama mungkin merupakan yang paling krusial. Konflik agama di Poso dan Ambon, dan berbagai daerah lainnya, antara islam dan kristen, juga merupakan konflik yang terjadi karena rendahnya pemahaman toleransi dan dialog antar agama. Sehingga perseteruan yang remeh dan sepele pada mulanya, antara pemeluk kedua agama, mampu disulut dengan mudah hingga menelan ribuan nyawa melayang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan memiliki kepentingan didalam konflik ini.
Sebuah kata “toleransi” sangat mudah diucapkan dan dilontarkan dari bibir ini. Bahkan juga sangat mudah untuk dipaparkan dan dijelaskan hingga menjadi sebuah tulisan dan buku seperti yang dilakukan oleh saya dan juga Walzer. Namun, untuk membuat orang lain paham, mengerti, dan mengaktualisasikan sikap toleransi ini sangatlah tidak mudah. Karena itu, Toleransi ibarat sebuah konsep yang sangat ideal dan luhur, tetapi sangat susah untuk membumi atau “down to earth”. Diperlukan suatu cara dan mekanisme yang progresif untuk memahami kepada segenap warga negara mengenai Toleransi dan bagaimana cara mengaktualisasikannya dengan benar dan efektif.

Kamis, 29 April 2010

(4) Mimesis

created by MinorityIdeas


Mimesis menurut Rene Girard merupakan hasrat meniru dari dalam diri manusia. Manusia secara alamiah memiliku hasrat meniru manusia lainnya, baik dalam bersikap dan pola berpikir. Kondisi seperti ini oleh Rene girard disebut sebagai mimesis.

Mimesis merupakan hipotesa awal dari Girard, yang menjelaskan akar dari suatu konflik. Pada fase pertama (mimesis), girard menjelaskan bahwa setiap hasrat meniru (mimesis) itu mengandung potensi konflik karena sifat dan watak mimesis itu sendiri. Sedangkan fase kedua, merupakan dampak implikasi dari adanya rivalitas mimesis dua orang yang memiliki hasrat yang sama, yang mana girard melihat mengenai implikasi dari dua orang yang berkonflik karena memiliki hasrat yang sama terhadap suatu obyek. Pada mulanya, girard meneliti mengenai dua orang yang berkonflik, tetapi selanjutnya ia memperluas penelitiannya terhadap relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Sehingga dalam proses rivalitas mimesis ini timbul apa yang disebut sebagai mekanisme kambing hitam (scapegoating).

Proses mimesis (mimetic rivalry) menjadi ke sebuah scapegoating adalah karena hasrat manusia pada pokoknya tak terarahkan pada sebuah objek yang spesifik. Orang menghasratkan sesuatu, karena orang lain menghasratkan sesuatu tersebut. Ia meniru dan hasratnya diarahkan oleh orang lain yang ditirunya. Hasrat yang lahir karena mimesis atau meniru itu mau tak mau mengakibatkan konflik. Sebab pihak-pihak yang menghasratkan mengarahkan hasratnya pada objek yang sama. Teladan yang tadi ditiru kini menjadi rival. Sementara objek yang tadinya diperselisihkan sekarang kabur menghilang. Makin hasrat meningkat, makin orang memfokuskan dirinya pada rival, yang akhirnya harus dilawannya.

Rivalitas ini mau tak mau mengarah pada kekerasan. Kekerasan yang pecah menjadi satu-satunya hal yang dihasratkan. Hanya dengan kekerasan itu pihak-pihak yang berselisih merasa bisa memperjuangkan hasratnya. Terjun dalam kekerasan lalu menjadi tanda, bahwa mereka masih sanggup mempertahankan hidupnya.

Karena manusia mencenderungi tindakan kekerasan, hidup damai dalam masyarakat tidak dapat diandaikan akan terjadi dengan sendirinya. Akal sehat maupun maksud baik (social contract) tak menjadi jaminan bagi kedamaian itu. Rivalitas yang terkandung dalam diri setiap orang dengan mudah membahayakan tata masyarakat, membuyarkan norma-norma dan mengaburkan pengandaian-pengandaian kultural. Peluang bagi kedamaian tetap ada, asalkan agresi yang saling menghancurkan bisa dialihkan ke dalam kekerasan yang satu dan seragam, kekerasan dari semua melawan satu. Maka semua orang lalu mengerahkan permusuhannya dan kekerasan pada kambing hitam, yang dipilih mereka secara sewenang-wenang . Sekarang kesalahan ada pada pihak kambing hitam. Bukan pada mereka. Itulah mekanisme kambing hitam. Karena mimesis, hasrat mereka berbenturan satu sama lain, menjadi rivalitas, yang menuntun ke konflik dan melahirkan kekerasan. Karena kambinghitam, rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan masyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Lewat pengosongan kolektif terhadap hasrat mimetis yang saling menghancurkan itu, kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini disakralkan dan dianggap sebagai pembawa kedamaian. Ia sekaligus terkutuk dan pembawa keselamatan. Karena dialah lahir kekerasan sakral, yang dipraktikkan dalam ritual.

Dalam praktik korban, dialihkan kini kekerasan kolektif yang asli menjadi kekerasan pada kambing hitam. Hal itu diatur dan dikontrol dengan ketentuan dan aturan ritus yang ketat dan keras. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan keluar, dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri.

(3) Musuh/Lawan

created by MinorityIdeas


Musuh atau lawan yang ada dalam sebagian besar benak kita selama ini merupakan orang yang “jahat”, “buruk”, “negatif”, “evil”, dan berbagai macam sifat buruk lainnya yang melekat padanya. Sehingga kita otomatis menganggap diri ini kebalikan dari sifat-sifat buruk tadi. Maka, dikarenakan adanya musuh terkadang hidup kita akan selalu merasa terancam, siap siaga jika sewaktu-waktu musuh menyerang, atau bahkan kita sampai berpikir untuk memusnahkan musuh kita tersebut. Sehingga kondisi seperti ini sangat rentan memicu konflik dengan kekerasan, padahal kita semua tahu bahwa sebagian besar manusia di dunia ini pasti memiliki musuh meskipun musuhnya tersebut hanya satu orang. Lalu, apa jadinya dunia ini jika dipenuhi dengan hubungan saling memusuhi? Akankah perdamaian yang diinginkan setiap manusia itu hanyalah impian belaka?

Konsep musuh atau lawan menurut Carl Schmitt, yaitu bukanlah musuh dalam artian musuh atau lawan yang harus dimusuhi hingga menjadikannya harus mati atau eksistensinya sebagai manusia menjadi hilang karena tindakan orang yang memusuhinya. Karena musuh dalam artian seperti ini justru akan menciptakan suatu antagonisme sosial, suatu kondisi yang chaos dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, musuh dalam pengertian ini lebih kepada pengutamaan emosional dan persepsi, yang mana tingkat rasionalitas dalam mengambil keputusan sangat kurang dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang akan terjadi justru akan menciptakan suatu kondisi yang tidak stabil, penuh dengan ancaman dan kekerasan, dan pada akhirnya bisa terjadi yang disebut sebagai suatu peperangan yang akan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Maka, manusia tidak akan jauh berbeda dengan binatang atau mahluk yang tidak beradab. Menurut Schmitt, seorang lawan atau musuh hanya ada jika terjadi suatu konfrontasi secara kolektif. Konflik akhirnya menjadi chaos dan ini disebut sebagai masa krisis namun kemudian, oleh Schmitt, diharapkan ada “order” setelah dibuat suatu keputusan. Maka antinomi antara kawan dan lawan merupakan prinsip diferensiasi yang mengawali lahirnya sebuah sistem baru yang bersifat konstruktif.

Musuh sebenarnya tidak semestinya diperlakukan layaknya binatang atau menghilangkan ekistensinya dari dunia ini. Musuh atau lawan sejatinya merupakan suatu hal yang sebenarnya dibutuhan oleh manusia untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih bagus lagi.
Menurut Schmitt, dengan adanya musuh ini, meskipun kita akan melalui masa-masa krisis dalam berkonflik dengan musuh, tapi justru hal itu nantinya akan menciptakan sebuah tatanan “order” yang baru atau system yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena dalam menghadapi musuh ini maka pikiran, kreativitas, akan terkerahkan dengan optimal dan menghasilkan suatu cara atau system untuk bagaimana agar bisa menang atau menyelesaikan konflik. Konsep “musuh” oleh Carl Schmitt ini sebenarnya sangat dekat dengan konsep “Nir Kekerasan”, karena ketika kita menganggap musuh sebagai saingan atau partner dalam berkonflik, maka kita akan memikirkan banyak cara untuk menghadapinya tanpa menggunakan kekerasan sehingga menghilangan eksistensinya dari dunia ini. Pada akhirnya akan tercipta suatu perdamaian. Jadi, musuh dalam definisi ini akan selalu dibutuhkan oleh manusia, dan itu berarti “konflik” sebenarnya juga dibutuhkan oleh manusia, sehingga “konflik” tidak akan pernah bisa hilang tapi kita harus tahu bagaimana mengelola konflik tersebut kearah positif dan konstruktif. Maka, tidak salah jika tatanan dunia yang ideal akan lahir karena adanya “musuh” dan “konflik” dalam artian yang positif seperti apa yang dijelaskan oleh Carl Schmitt.