MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Kamis, 05 Februari 2009

Membaca sebagai Budaya Bangsa yang Maju

created by MinorityIdeas


Aku tidak ingin mengatakan bahwa bangsaku ini adalah bangsa yang tertinggal atau tidak maju dibanding bangsa Asia lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangganya yang luasnya tak lebih dari luas Provinsi Yogyakarta atau negara tetangga yang sempat berguru pada bangsaku ini pada masa lalu. Walaupun pada kenyataannya bangsaku ini memang sebuah bangsa yang tertinggal, ditambahi oleh seribu satu masalah yang melandanya.
Aku ingin menanamkan rasa optimisku bahwa bangsaku ini sedang berjalan untuk maju mengejar ketertinggalannya dan suatu saat mampu untuk sejajar dengan bangsa lainnya, walaupun aku merasa bangsaku ini seperti jalan di tempat sejak era kebangkitan reformasi.

Lalu apa yang sebenarnya membuat bangsaku ini tertinggal? Untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah suatu hal yang mudah, karena ada banyak argumen yang bisa diajukan untuk menjawabnya, disebabkan masalah yang menjangkiti bangsaku ini telah mencapai taraf krisis multidimensi. Jadi, jawaban yang akan kuutarakan ini hanyalah mewakili segelintir faktor namun menurutku cukup signifikan.

Teringat aku akan sebuah soal ujian akhir semester agama islam III (tafsir dan hadis). Kurang lebih soal itu menanyakan mengenai sumber ilmu pengetahuan yang ada di dunia. Aku menjawabnya dengan mantap bahwa sumber ilmu pengetahuan di dunia ini adalah Kalam Allah SWT. Ya, itulah sumber ilmu pengetahuan, dan Kalam Allah SWT terhampar dan tersebar luas dijagat raya ini. Apa yang kita lihat, dengar, rasakan, merupakan ilmu, yang kesemuanya telah termaktub dalam kitab suci Al-Quran. Bagaimana kita mampu untuk mempelajari dan menyerap itu semua? Maka tak heran jika wahyu Allah SWT yang pertama kali turun kepada Nabi Besar Muhammad SAW adalah memerintahkan untuk MEMBACA. Surat Al-Alaq ayat 1-5 berbunyi :
1. Bacalah! dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

‘Membaca’ adalah jawaban dari pertanyaanku tadi, karena membaca adalah jendela wawasan. Dengan membaca, kita akan mengetahui segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini, bahkan untuk di akhirat kelak. Dengan membaca maka kita mendapat ilmu pengetahuan, dan dengan ilmu pengetahuan kita bisa mengangkat derajat kita untuk lebih menjadi manusia yang maju. Jika kegiatan membaca dilakukan dengan kolektif atau banyak orang, maka manfaat yang didapatkan tentu besar pula, yaitu mengangkat derajat banyak manusia sehingga mereka mampu untuk maju, jika banyak manusia Indonesia maju maka bangsaku ini juga turut maju. Namun, hal itu tak semudah apa yang kita pikirkan. Bukan sekedar membaca yang mesti kita lakukan, tapi Membaca mesti dijadikan sebagai sebuah kebiasaan atau bahkan budaya. Budaya Membaca. Karena dari suatu budaya akan membentuk suatu peradaban. Maka budaya membaca akan membentuk peradaban yang maju pada sebuah bangsa. Tapi sayang, bangsaku ini belum membudayakan dan membiasakan membaca. Bahkan banyak orang dengan pesimis mengatakan bahwa bangsaku ini adalah bangsa yang malas, malas untuk membaca. Ada sebuah penggalan artikel dari sebuah blog, aku lupa nama blognya, yang membahas kebiasaan membaca bangsaku ini:

Seperti kita tahu, apabila kita bandingkan antara perilaku bangsa Indonesia dg
bangsa-bangsa lain dalam soal kebiasaan membaca ini sangat jauh tertinggal. Kita lihat
contoh yg mudah, saat melakukan perjalanan baik di darat (bus, atau kereta api)
atau perjalanan udara (pesawat) selalu kita lihat banyak orang dari
bangsa-bangsa lain (eropa, amerika, termasuk India) yg menggunakan waktu luang
di perjalanan dg membaca buku; entah itu berupa buku serius atau sekedar novel
fiksi. Pemandangan semacam itu tidak pernah kita lihat dilakukan oleh orang2
Indonesia.
Apa yg menyebabkan kita malas baca? Jawaban simpelnya: karena kita bangsa yg
pemalas! Kumpulan orang-orang pemalas dan patetis yg selalu ingin mendapatkan
keuntungan (materi) dg tanpa harus bekerja keras. Namun menurut salah seorang
rekan kita yg sudah menyelesaikan gelar Ph.D-nya di Aligarh University, yaitu
DR. Mujab Mashudi (kakaknya Qisai), kemalasan dg lemahnya kreatifitas kita di
panggung internasional adalah karena bangsa kita termasuk dalam kategori bangsa
yg masih muda. Bangsa yg masih muda akan cenderung mengikuti tradisi awal
sejarah umat manusia; bukan terbiasa membaca tapi berbicara; tidak terbiasa
menulis tapi bercerita. Tidak terbiasa bekerja keras, tapi bermalas-malasan.

Membaca artikel itu sedikit membuat miris hatiku. Walaupun aku belum pernah melihat seperti apa bangsa-bangsa lain diluar sana dengan kebiasaan membacanya, namun setidaknya aku pernah melihat disela-sela waktu luangku saat diperjalanan darat, udara, maupun air, bahwa sudah banyak juga orang-orang dari bangsaku yang menggunakan waktu luangnya untuk membaca Koran, majalah, ataupun buku serius lainnya. Tapi memang hal itu semua belum menjadi suatu kebiasaan atau budaya.

Hal ini aku rasakan dahulu saat aku masih berada di daerah asalku. Sejak SD-SMA, aku tak tahu mengapa guru-guruku sedikit sekali menstimulus murid-muridnya untuk membiasakan membaca Koran atau buku-buku pengetahuan umum lainnya. Hanya terpaku pada buku ajar bidang studi yang sedang digeluti. Perpustakaan sangat sedikit pengunjungnya. Bahkan hal ini diperparah dengan sedikitnya jumlah toko buku. Walaupun ada toko buku, namun buku-buku yang ada kurang up to date. Tidak lengkap koleksinya. Bahkan internet belum menjamur seperti yang terjadi di kota tempat aku kuliah saat ini, Jogja. Didaerah asalku justru lebih banyak toko pakaian dan makanan dibanding toko buku, yang mana hal itu justru mendidik dan menumbuhkan budaya konsumtif yang negatif bagi masyarakat setempat.
Benarkah bangsaku ini adalah bangsa yang malas? Bangsa yang malas untuk membaca sehingga menyebabkan bangsa ini tidak maju? Aku rasa tidak, bangsaku bukanlah bangsa pemalas. Bangsaku bukan malas untuk membaca, tapi mereka tidak terbiasa untuk membaca. Bahkan ada yang berkeinginan untuk terbiasa membaca tapi kemampuan untuk menyalurkannya tak ada. Inilah masalah intinya.

Daerah asalku belum memiliki kebiasaan untuk membaca. Dan itu harus segera ada yang memulai secara kolektif untuk menumbuhkan kebiasaan dan budaya membaca. Mengapa aku mengatakan seperti itu? Aku kagum dengan kota dimana aku berpijak saat ini. Jogja. Kota pelajar, yang tak bisa dipungkiri selalu identik dengan kegiatan membaca. Saat pertama kali aku tiba di kota ini, aku melihat warung-warung yang dipenuhi orang yang makan dengan ditemani aktifitas membaca Koran. Toko-toko buku yang banyak dan selalu dipenuhi oleh para pelajar dan mahasiswa. Seminar, bazaar, pameran, dan bedah buku sering diadakan. Buku-bukunya pun selalu up to date. Di halte, stasiun, bandara, orang-orang menggunakan waktu luangnya untuk mambaca. Bahkan di tempat ibadah sekalipun lembaran-lembaran dakwah yang diperuntukkan jemaah selalu tersedia, serta setiap kantor kelurahan dan kecamatan selalu menyediakan tempat untuk menempel Koran lokal dan nasional untuk dibaca warga setempat. Membaca telah menjadi budaya di kota ini. Inilah yang mesti ditiru oleh daerahku dan daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Apakah cukup hanya dengan menumbuhkan kebiasaan,minat, dan menjadi sebuah budaya baca, lalu bangsa ini akan maju? Ternyata itu belum cukup. Walaupun telah menjadi kebiasaan bahkan memiliki minat tinggi untuk membaca, ternyata bangsa kita ini memiliki daya beli yang sangat rendah. Daya untuk membeli buku dan bacaan lainnya, daya membeli ilmu pengetahuan.

Dikarenakan adanya PPN yang dipungut dari pembelian kertas oleh industri pers, maka harga buku dan sejenisnya menjadi cukup mahal. Ditambah dengan naiknya harga BBM, maka harga barang semakin melonjak. Untuk makan saja susah apalagi untuk membeli buku. Oleh karena itu, memungut pajak pengetahuan sama saja melemahkan minat baca bangsa ini.

Ada sebuah penggalan iklan di Koran Tempo, edisi rabu, 18 Juni 2008. Sebuah komentar dari seorang kepala sekolah suatu SD, Ibu Siti Amanati, BA.
Minat baca anak didik saya sebenarnya cukup bagus, tapi kalau daya belinya rendah apa mau dikata….makanya kalau saya bawa Koran bekas ke sekolah, langsung jadi rebutan dibaca anak-anak, mereka ngga peduli beritanya sudah basi. Jadi, kalau harga Koran naik lagi, bagaimana kita mau menyukseskan Gerakan Membaca Koran? Ilmu pengetahuan kok dipajaki..

Ya, memang Presiden SBY telah mencanangkan “Gerakan Membaca Koran” di Semarang, 9 Februari 2008 lalu, tapi coba bayangkan, membeli Koran saja bangsa kita ini sudah banyak yang tidak mampu, apalagi untuk membeli buku bacaan lainnya. Bagaimana bangsa ini mampu untuk maju? Semoga pemerintah mampu bertindak arif dan bijaksana dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan bangsa ini. Sejatinya, pemerintah yang bijak tidak memungut pajak pengetahuan ( buku dan media cetak ), karena akan menyebabkan pembodohan dan pemiskinan bangsa.
Majulah Bangsaku!

0 komentar: