MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Kamis, 29 April 2010

(4) Mimesis

created by MinorityIdeas


Mimesis menurut Rene Girard merupakan hasrat meniru dari dalam diri manusia. Manusia secara alamiah memiliku hasrat meniru manusia lainnya, baik dalam bersikap dan pola berpikir. Kondisi seperti ini oleh Rene girard disebut sebagai mimesis.

Mimesis merupakan hipotesa awal dari Girard, yang menjelaskan akar dari suatu konflik. Pada fase pertama (mimesis), girard menjelaskan bahwa setiap hasrat meniru (mimesis) itu mengandung potensi konflik karena sifat dan watak mimesis itu sendiri. Sedangkan fase kedua, merupakan dampak implikasi dari adanya rivalitas mimesis dua orang yang memiliki hasrat yang sama, yang mana girard melihat mengenai implikasi dari dua orang yang berkonflik karena memiliki hasrat yang sama terhadap suatu obyek. Pada mulanya, girard meneliti mengenai dua orang yang berkonflik, tetapi selanjutnya ia memperluas penelitiannya terhadap relasi-relasi sosial dalam masyarakat. Sehingga dalam proses rivalitas mimesis ini timbul apa yang disebut sebagai mekanisme kambing hitam (scapegoating).

Proses mimesis (mimetic rivalry) menjadi ke sebuah scapegoating adalah karena hasrat manusia pada pokoknya tak terarahkan pada sebuah objek yang spesifik. Orang menghasratkan sesuatu, karena orang lain menghasratkan sesuatu tersebut. Ia meniru dan hasratnya diarahkan oleh orang lain yang ditirunya. Hasrat yang lahir karena mimesis atau meniru itu mau tak mau mengakibatkan konflik. Sebab pihak-pihak yang menghasratkan mengarahkan hasratnya pada objek yang sama. Teladan yang tadi ditiru kini menjadi rival. Sementara objek yang tadinya diperselisihkan sekarang kabur menghilang. Makin hasrat meningkat, makin orang memfokuskan dirinya pada rival, yang akhirnya harus dilawannya.

Rivalitas ini mau tak mau mengarah pada kekerasan. Kekerasan yang pecah menjadi satu-satunya hal yang dihasratkan. Hanya dengan kekerasan itu pihak-pihak yang berselisih merasa bisa memperjuangkan hasratnya. Terjun dalam kekerasan lalu menjadi tanda, bahwa mereka masih sanggup mempertahankan hidupnya.

Karena manusia mencenderungi tindakan kekerasan, hidup damai dalam masyarakat tidak dapat diandaikan akan terjadi dengan sendirinya. Akal sehat maupun maksud baik (social contract) tak menjadi jaminan bagi kedamaian itu. Rivalitas yang terkandung dalam diri setiap orang dengan mudah membahayakan tata masyarakat, membuyarkan norma-norma dan mengaburkan pengandaian-pengandaian kultural. Peluang bagi kedamaian tetap ada, asalkan agresi yang saling menghancurkan bisa dialihkan ke dalam kekerasan yang satu dan seragam, kekerasan dari semua melawan satu. Maka semua orang lalu mengerahkan permusuhannya dan kekerasan pada kambing hitam, yang dipilih mereka secara sewenang-wenang . Sekarang kesalahan ada pada pihak kambing hitam. Bukan pada mereka. Itulah mekanisme kambing hitam. Karena mimesis, hasrat mereka berbenturan satu sama lain, menjadi rivalitas, yang menuntun ke konflik dan melahirkan kekerasan. Karena kambinghitam, rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan masyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Lewat pengosongan kolektif terhadap hasrat mimetis yang saling menghancurkan itu, kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini disakralkan dan dianggap sebagai pembawa kedamaian. Ia sekaligus terkutuk dan pembawa keselamatan. Karena dialah lahir kekerasan sakral, yang dipraktikkan dalam ritual.

Dalam praktik korban, dialihkan kini kekerasan kolektif yang asli menjadi kekerasan pada kambing hitam. Hal itu diatur dan dikontrol dengan ketentuan dan aturan ritus yang ketat dan keras. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan keluar, dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri.

0 komentar: