MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Selasa, 10 Februari 2009

Menciptakan Jaringan Sebelum Pemilu

created by MinorityIdeas

Hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 214 UU no 10/2008 memberikan dampak yang sangat signifikan pada perubahan strategi pemenangan Pemilu legislative 2009. Pembatalan dari pasal ini mengatur bahwa berdasarkan suara terbanyak, bukan berdasar nomor urut, yang bisa mengantarkan caleg untuk memperoleh kursi di dewan perwakilan. Sehingga cara-cara instan yang dilakukan caleg untuk memenangkan pemilu sebelumnya dikhawatirkan tidak ampuh lagi pada pemilu 2009 ini.


Akibat pembatalan pasal 214 UU no 10/2008 memberikan suatu perubahan pada dinamika politik Indonesia, yang menunjukkan bahwa demokratisasi yang berjalan semakin menunjukkan kedewasaannya. Hak suara pemilih (masyarakat) disini akan lebih dihargai karena mereka memilih caleg tentunya berdasarkan atas asas ‘mengenal’. ‘Mengenal’ disini tentunya bukanlah asal-asalan mengenal disebabkan hanya karena adanya baliho ataupun poster caleg tersebut yang banyak bertebaran dimana-mana, tetapi lebih kepada kinerja, kualitas, dan dedikasi seorang caleg kepada masyarakat. Sehingga caleg tersebut menjadi kuat posisinya dimata masyarakatnya.


Pembatalan pasal ini juga membuat caleg-caleg yang menggunakan cara lama yang instan menjadi kelimpungan. Cara lama dan instan yang dimaksud disini adalah cara yang menganggap uang diatas segala-galanya. Sehingga asal ada uang yang banyak, dalam waktu yang singkat dan mepet segalanya dapat dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat. Inilah yang banyak terjadi disetiap menjelang pemilu legislative. Biasanya kurang dari satu tahun atau bahkan enam bulan para caleg baru memulai sosialisasi yang terkesan mendadak. Mulai dari iklan dimedia massa, tebaran baliho, poster, pamphlet, dan atribut-atribut lainnya, mengadakan roadshow yang diiringi hiburan-hiburan yang tidak jelas, tak jarang juga pemberian bantuan sembako atau pembangunan dengan pamrih semata. Kebaikan itu hanya ada saat menjelang pemilu, sesudahnya, masyarakat tidak terlalu berharap. Itu semua hanya sebuah sajian semu para calon wakil rakyat untuk mendapatkan kekuasaan.


Memang proses untuk menjadi anggota legislative cenderung dilihat sebagai proses yang memerlukan banyak modal (uang). Sehingga orang yang menjadi caleg sudah tentu memiliki banyak modal. Disini akan membuat kecenderungan sebagian besar yang sudah mengeluarkan modal besar dalam proses pencalonannya akan berpikir untuk bagaimana mengembalikan modalnya itu dalam masa jabatan sebagai wakil rakyat. Hal ini tidak jarang menyebabkan masyarakat yang sudah memilihnya menjadi terlantar. Janji tinggallah janji yang tak pernah bisa direalisasikan oleh wakil rakyat yang duduk disinggasana atas bantuan rakyat.


Uang bukanlah segalanya

Disaat inilah sebenarnya dituntut calon wakil rakyat yang memang benar-benar memiliki kompetensi yang handal, berkualitas, dan berdedikasi bagi masyarakat, walaupun tidak memiliki modal (uang) yang banyak. Karena seorang yang memiliki kualitas, kompetensi, dan dedikasi belum tentu memiliki modal banyak. Inilah yang menunjukkan bahwa uang bukanlah segala-galanya, tapi bagaimana dedikasi dan kualitas yang dutunjukkan kepada masyarakat secara ikhlaslah yang akan mengantarkannya untuk menjadi wakil rakyat.


. Kualitas, kompetensi, dan dedikasi, merupakan tolak ukur bagi caleg yang benar-benar dapat diharapkan rakyat. Tentunya tolak ukur tersebut tidak bisa dipraktekkan oleh setiap caleg secara instan dalam waktu/tempo yang singkat dan mepet. Menurut DR. Sidik Jatmika, idealnya, seorang caleg sudah harus mampu mempersiapkan segalanya sekitar 3 (tiga) tahun sebelumnya. Kemudian, minimal 6 (enam) bulan dilakukan evaluasi sejauh mana tingkat efektifitas berbagai taktik yang telah dilakukan. Disisi lain, para caleg memiliki waktu yang cukup untuk berkomunikasi dan membangun citra dirinya secara mendalam kepada calon pemilihnya.


Dalam waktu yang cukup lama itulah para caleg dapat memberikan kontribusi yang maksimal kepada masyarakat sebagai bahan personal building. Selain itu, para caleg juga bisa membangun dan menciptakan strategi modal non-uang untuk memperbesar penggalangan jumlah pemilih dan pendukung. Strategi modal-non uang ini berupa penciptaan jaringan massa dari modal budaya dan simbolik. Jaringan yang berasal dari modal budaya adalah misalnya jaringan yang dimiliki oleh caleg yang berasal dari sektor keilmuan formal (TK,SD, SMP,SMA,PT); non formal seperti, tempat kursus, sanggar seni, karang taruna, dan sebagainya, yang semua dapat dihimpun oleh caleg untuk dijadikan massa pendukung dengan strategi yang inovatif. Strategi simbolik dapat dengan cara menggalang dukungan dan membentuk jaringan dari pihak keluarga, yaitu mulai mendata silsilah keluarga besar yang dimungkinkan menjadi pemilih potensial, merangkul dan membangun ormas-ormas baik yang bersifat keagamaan dan kedaerahan, kelompok-kelompok sosial seperti, pengamen, pedagang, kelompok tani, pengrajin, dan sebagainya, serta organisasi-organisasi lain yang dapa dijadikan basis kekuatan dan jaringan.


Semua modal tersebut lalu diakumulasikan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun strategi dan peta kekuatan dalam menghadapi saingan menjelang pemilu. Namun, mesti diingat bahwa tujuan dari itu semua sejatinya bukan untuk mendapatkan tampuk kekuasaan semata, tetapi lebih kepada bagaimana membangun dan berdedikasi kepada masyarakat melalui jaringan yang sudah dibentuk demi kesejahteraan masyarakat, itulah tujuan utamanya. Sedangkan duduk sebagai wakil rakyat hanyalah sebuah hadiah dari apa yang sudah diberikan dan didekasikan sebelumnya kepada masyarakat.

0 komentar: